Entah mengapa aku menurut saja kembali ke rumah kostku, sebelum waktunya. Hari ini Jum’at, 3 Maret 2006. Rencananya sore hari ini aku dan Bayu akan menghabiskan waktu dengan mengunjungi beberapa tempat hingga larut malam. Salah satunya memanjakan kenangan rasa di warung bakso jalan Gejayan yang tak pernah sepi dari pengunjung. Aku lupa kapan terakhir kali makan di tempat itu. Beberapa tahun lalu. Akupun tak ingat lagi apakah ini satu-satunya warung bakso yang menyajikan masakan terbaik di Jogja. Tapi hiruk pikuk yang mulai terlihat di halaman parkir yang sempit karena hanya memanfaatkan trotoar dan sedikit mencuri ruas jalan membuatku yakin .Tak ada tempat lain sebagai pilihan di sore ini.
Saat sedang menyantap daging sebesar bola ping-pong, temanku Andri menghubungiku lewat handphone. Sekuat tenaga aku mendengarnya ditengah riuh rendah suara orang-orang yang sedang berbahagia di warung itu. “Sepertinya kita harus pulang” kataku saat kembali ke meja. “Andri akan datang ke kost” lanjutku sambil menghabiskan sisa daging di mangkok. Kulihat Bayu tak keberatan. Seperti biasanya, ia memang tak pernah bermasalah dengan pendapatku. Padahal rencananya kami akan ke Malioboro Mall setelah ini. Membeli sebuah boneka Mickey Mouse sebagai hadiah untuk seorang perempuan yang kukira akan dapat meluluhkan hatinya dengan itu. Walaupun akupun tak yakin benar-benar mengharapkannya. Tapi rencana itu terpaksa kutunda karena temanku akan datang hanya untuk menumpang mandi. Tak ada firasat apapun.
Hanya selang beberapa menit saat aku berada di kamar kost temanku datang dengan motor sewaan dan jaket kulit hitam kebanggaannya. Tubuhnya gempal, berkulit putih, dan tak seberapa tinggi seperti rata-rata orang Asia. Sebenarnya ia pelukis yang baik walau tak pernah lulus dari ISI ( INSTITUT SENI INDONESIA) pernah menjuarai lomba lukis tingkat Asia Tenggara saat remaja. Tapi wataknya mendorongnya lebih suka melakukan hal-hal yang menyerempet bahaya dan melanggar hukum. Sekali waktu ia pernah bangga berceritaa nenek moyangnya masih keturunan perompak China. Aku percaya saja karena tak dapat membuktikan kebohongannya. Karena tabiatnya itu tak seorangpun percaya ia seorang pelukis. Seperti kesan pertamaku saat pertama kali mengenalnya 6 tahun yang lalu. Bahkan beberapa orang pucat pasi karena mengira ia seorang reserse polisi yang sedang menyamar. Dan ia biasanya terbahak-bahak bila mengenangnya.
Setelah mandi dan sholat Maghrib ia melaporkan apa yang menjadi tugasnya. Aku mendengarkan dan mengabaikan hal lain yang kukira hanya membuang-buang waktu saja. Yang kuingat tadi siang ia mengadu di telephone tanpa sengaja ia menginjak kacamata hitamnya hingga pecah saat membersihkan kamar kostnya yang baru. Aku tak berpkir ada hubungannya sama sekali dengan kejadian hari ini. Tak berapa lama ia pamit lalu pergi dengan semangat seperti remaja hijau . tapi aku sudah tak berniat keluar malam ini melanjutkan rencanaku tadi.
Selesai Isya, saat gemintang bertebaran jelas di langit cakrawala yang kelam, seorang temanku yang lain datang. Feri. Selama beberapa bulan terakhir ini hampir tak pernah seharipun terlewatkan tanpa bertemu dengannya. Sesering kencannya dengan sang pacar yang kuasa menerima ia apa adanya . Sekali waktu perempuan itu pernah mengeluh didepanku karena tak dapat memahami rasa cintanya sendiri. Tapi aku meragukannya, karena meskipun Feri bukanlah lelaki dengan masa depan cerah tapi cukup membuat perempuan lain tertarik padanya tanpa perduli kekeringan tubuhnya. Kupikir perempuan seringkali merasa takjub dan perasaan hatinya. Hampir seperti laki-laki.
Setelah memarkir motornya yang tak dapat berlari kencang, ia masuk sambil menenteng sebuah handphone yang kadang tak dapat membuatnya bangga, “ pemberian pacarku “ katanya sesekali waktu saat kutanyakan harganya. Karena gerah ia melepaskan sweternya dan meletakan begitu saja diatas lemari plasik. Kemudian kami telibat obrolan biasa yang selalu saja tak ada habis-habisnya.
Bayu menyapa dan tersenyum didepan pintu sebelum bergabung dengan kami. Tak terasa telah delapan bulan lamanya aku mengenal laki-laki ini. Dan seingatku, tak pernah terlihat merengut. Hampir dalam segala hal ia selalu mencoba tersenyum. Pernah suatu saat ia berkelahi dengan sahabatnya tapi wajahnya seolah tak mengambarkan kekesalan dan amarah.. Sampai aku menduga telah menemukan jenis mnusia tanpa ekspresi. Badannya kurus dengan bahu sempit dan pernah cidera, sehingga tak kuasa menahan beban yang terlalu berat. Dan ia hanya seperti laki-laki lainnya di dunia ini setelah sebuah tahi lalat diatas cuping hidungnya hilang. Suatu hari ia mengeluh kepada seorang dokter dan menuntutnya melakukan operasi. Ia tak tahan dengan canda temann-temannya yang sering memencet benda hitam yang cukup menonjol itu dan menganggapnya sebagai bel. Ia cukup senang setelah operasi itu. Tapi teman-temanntya tampak kecewa.
Tak lama berselang kami bertiga naik keatas menuju kamar Bayu. Kamar itu tak terlalu besar seperti kamar-kamar lainnya, tapi lebih senang berada disitu karena angin malam cukup menyejukkan. Sebuah kompuer dibawah jendela, kasur dan lemari baju portable tak cukup membuat kamar ini menjadi sempit. Disitu aku mengeluarkan sepaket kecil ganja yang kuambil dari tempat rahasia di bawah tangga. Ganja itu kami bersihkan dari biji dan batangnya dicampur dengan tembakau rokok. Kemudian kami linting dengan papir.
Lintingan pertama kami hisap bergantian hingga habis. Lalu dilanjutkan dengan lintingan kedua dan ketiga. Selama itu sedikit-demi sedikit aku telah dikuasai oleh pengaruh zat narkotika. Tubuh ini berangsur lemah tapi pikiran mendadak lebih santai dari sebelumnya. Pada mulanya pembicaraan diantara kami masih hangat, namun lama kelamaan segala perhatian seperti tertarik pada sebuah pusaran yang begitu kuat. Gambar-gambar yang ada dalam kepala bias berbentuk apa saja jika dibiarkan liar. Semua cahaya yang jatuh didepan mata terlihat redup. Seolah tak ada yang dapat menyilaukan . Seperti janji Tuhan akan surga dimana terang bukan dari cahaya.
Sekali waktu aku merasa sendiri dikamar itu, tersudut ditepi yang tak dapat kusentuh bahkan oleh napasku. Kadang juga aku merasa berada di sebuah dataran dalam selubung cahaya, sedang mendaki ruang imaji yang kubiarkan menembus dimensi yang tak dapat kubayangkan. Tapi kemudian kembali lagi pada kesabaran semula menatap kedua temanku bersama ruang khayalnya sendiri. Dalam keadaan seperti ini cukup mudah untuk tersenyum dan tertawa karena menganggap segalanya akan beres.
Ada keinginan untuk sekedar menikmati temaram kota Jogja dimalam hari. Menyaksikan lingkar pijar lampu hias taman kota dan hilir mudik orang-orang yang rasanya tak pernah lelah sepanjang hari. Tapi aku telah tertambat disini, melihat hasratku dari jauh, didalam kamar yang penuh asap. Seorang temanku berjanji akan datang dan menyerahkan sejumlah uang. Tapi aku merasa sedang tidak menunggunya. Kupikir masih ada hari esok untuk melaksanakan segala rencana dan beberapa linting lagi ganja cukup untuk mengisi waktu malam ini.
20 : 30 WIB
Tinggal selinting ganja yang tersisa diatas asbak dari kaca tebal. Tapi aku belum berniat memulainya lagi karena kepala ini telah terlepas oleh biusnya. Tiba-tiba aku memikirkan temanku yang berjanji akan datang. Harusnya sudah dari tadi ia datang. Biasanya ia memberi kabar jika ada perubahan. Tapi aku tak mempunyai firasat apapun atau dugaan lain. Yang kutahu ia cukup sibuk selama ini dengan kehidupannya.
Kemudian pikiranku membeku dalam penantian yang sebenarnya tak sungguh-sungguh aku lakukan. Kedua temanku tadi sesekali berbicara tentang sesuatu dan terkekeh tanpa sebab yang berarti. Sebentar kami memutuskan bermain gitar dan bernyanyi namun hanya sekedar untuk telinga yang ada dikamar ini. Karena pemilik kost ini, seorang ibu yang belum sempat kukenal, yang tinggal dalam satu pekarangan dengan kami sedang berduka cita oleh kematian suaminya beberapa hari lalu. Beberapa lagu berlalu dan terlupakan. Kemudian keheningan kembali menyelimuti kepala dan mengurai satu-persatu suara-suara yang tadinya berdesakan di telinga. Tapi tak satupun suara-suara dari tempat yang jauh terdengar selayak malam yang sunyi. Beberapa detik kemudian ada semacam ketegangan yang tak dapat kumengerti.
Semakin lama semakin mendekat. Suara-suara itu makin jelas dan cepat hingga aku dan kedua temanku tak dapat menyimpulkan apa-apa. Kami hanya termangu dan saling berbicara pada diri sendiri. Tiba-tiba sebuah tangan mencengkeram kusen pintu. Sedetik tiga pasang mata tertahan dan mengira-ira dalam ketiadaan waktu. Belum sempat aku melirik sekejappun sipemilik tangan tadi menyelipkan wajahnya yang putih lebam diantara pintu yang terbuka, laki-laki asing. Pikiranku terlalu cepat memutuskan.
Setelah tubuhnya utuh terlihat ia langsung menudingkan tangannya kearah temanku. “Siapa namamu ?“ bentaknya. “Feri” jawabnya ketakutan. “Kamu ?” sekarang matanya menuju kearah Bayu yang dekat didinding. Ia menjawab namanya tanpa bergerak. Saat itu mereka benar-benar dikuasai penuh oleh keberanian laki-laki itu sehingga melupakan haknya. Aku sendiri tak sempat lagi berpikir untuk berbohong saat laki-laki itu menudingku dan menanyakan hal yang sama. “Kamu?” matanya membelalak dan langsung meruntuhkan seluruh keberanianku. Saat itu juga seorang laki-laki asing yang lain muncul didepan pintu berdesakan. Tubuhnya tinggi besar dan bermata dingin.
Belum sempat aku menarik napas setelah kusebut namaku, mereka telah berada didepanku dan melayangkan pukulan sekenanya. Diatas kasur, sambil duduk bersandarkan dinding, badanku terhuyung-huyung. Pukulan demi pukulan seperti meledak-ledak kurasakan dikepala dan wajahku. “Mana yang sepuluh kilo?!” desak mereka sambil terus memukulku. “Saya enggak ngerti pak!” aku masih berpikir maksud pertanyaan itu sambil terhuyung-huyung. Tapi aku yakin sekarang kedua laki-laki ini polisi. Tak ada keraguan sedikitpun. “Bohong kamu!” teriaknya. “Mana yang sepuluh kilo?!” mereka terus mengulang-ulang pertanyaan itu tanpa menghentikan tangannya. Dan mata mereka semakin buas. Untungnya aku tak begitu merasakan sakit, mungkin karena kekebalan rasa yang dihasilkan zat narkotika (yang masih mengendap di tubuhku). Atau oleh sesuatu yang tak dapat kumengerti.
“Ini apa ?” dengan geram mereka menunjukkan sebuah pesan singkat di handphoneku yang sebelum mereka sita. Yang kutahu pesan itu dari temenku tapi aku tak sempat membacanya karena tinju mereka kembali mendarat di wajahku. “Saya enggak tahu pak ?” aku masih berusaha menjawab sambil berusaha menahan pukulan-pukulan laki-laki itu. “Ini alamat transaksi tolol !” kata seorang diantara mereka berapi-api. Rasanya tak sekedip mata mereka membiarkanku berpikir tentang sesuatu.
Tiba-tiba saja laki-laki yang pertama mengambil sebuah alat musik perkusi yang terletak dilantai dan langsung mengayunkan sekuat tenaga keatas kepalaku. Benda yang terbuat dari batok kelapa itupun hancur berkeping-keping menyisakan suara yang keras. Suaranya hanya seperti batok kelapa yang pecah. Dengan reflek aku mencari luka dikepalaku yang ikut berhamburan dilantai. Jari-jariku menyentuh cairan kental berwarna merah yang terus menerus menetes hingga menodai celana panjangku. Saat itu aku menyesalkan mengapa semuanya begitu serba kebetulan. Padahal sebelumnya Bayu belum pernah sekalipun mengeluarkan alat musik perkusi tersebut. Sungguh tak ada satu teoripun yang dapat menjelaskan.
Kedua temanku masih meringkuk ditempatnya semula ketika laki-laki kedua menanyakan pemilik selinting ganja di atas asbak itu kepada mereka. “Ini dari siapa?” bentaknya sambil mengangkat sebuah gitar yang siap diayunkan kekepala mereka. Namun kedua temanku melemparkan ekor matanya kearahku. “Itu punya saya pak!” kataku tegas seperti pahlawan kesiangan. Sungguh aku tak tega melihat temanku ikut dihajar. Pasti lebih menyakitkaan daripada mengalaminya sendiri. Dan akibatnya gitar itu berbalik menyerang kepalaku. Tapi untungnya gitar itu cukup kuat.
Sedari tadi aku masih keras berpikir. Siapa yang telah membocorkan informasi ini. Beberapa wajah silih berganti diingatanku namun tak seorangpun yang berhak kutuduh. Waktupun telah kuurai satu persatu dihari ini, dan jawabnya tetap tak kudapati. Akhirnya aku pasrah menjadi bualn-bulanan kedua laki-laki itu yang ingin mendapatkan pengakuanku. Dan yang harus kulakukan sampai saat itu tutup mulut.
Karena tak mendapatkan apa yang diinginkan kedua pria itu mengubah rencananya. “Kamarmu dimana?” Tanya salah seorang mereka dengan ketus. “Dibawah pak!” lalu aku digiring keluar kamar itu meninggalkan kedua temanku yang masih terpuruk. Aku tak dapat melihat jelas berapa jumlah laki-laki lain yang sedang menunggu diluar dengan siaga. Semua berpakaian biasa dengan mata awas. Aku lupa telah menuruni tangga karena rasanya tiba-tiba telah berada dikamarku sendiri. Aku didudukan diatas kasur tanpa dipan dan dari situ kulihat mereka hilir mudik sambil membongkar barang-barang yang ada dikamarku. Namun mereka tak menemukan apa-apa.
Seorang laki-laki pendek berkulit hitam masuk membawa amarah dimatanya yang lebam, dan membentakku sambil berkacak pinggang. Ia masih saja mengulang pertanyaan dua laki-laki sebelumnya. “Dimana kamu simpan yang sepuluh kilo?!” kini kakinya melayang dan menghantam tubuhku. Aku terguling kesamping kemudian perlahan bangkit sambil mengawasi kemungkinan tendangan susulan. Tapi ia tak mengulangnya lagi ketika jawabanku sama. Lalu ia keluar masih bersama amarahnya.
Beberapa laki-laki lain yang tak sanggup kuingat masuk bergantian memukulku sambil menjanjikan ancaman dan sumpah serapah. Yang kuingat, mereka tampak kebingungan mendapatkan bukti atas tuduhannya. Sementara darah dikepalaku masih menetes dan aku bisa merasakan sesuatu bergerak pelan menuruni kepalaku dan jatuh. Hening sejenak. Tak seorangpun mereka dikamarku. Hanya bayang-bayang tubuh yang terlihat bergerak-gerak dijendela.
Tiba-tiba beberapa pria masuk bersamaan kekamarku, sedikitnya lima orang. Tanpa berbicara sepatahpun mereka menyeretku ke tengah kasur. Seluruh anggota tubuhku mereka tahan dengan tangan dan kaki hingga aku tak dapat bergerak. Cengkeraman itu sangat kuat hingga kupikir mereka akan melakukan sesuatu yang tak lazim. Semakin lama tubuh-tubuh yang ada diatas tubuhku semakin merapat menindih hingga aku kehilangan cahaya. Rasanya tak ada udara yang dapat kuhirup karena wajahku tertutup gelap. Pikiranku kalut dan aku mulai meronta-ronta, sambil meneriakkan mati, kupikir aku telah berteriak terlalu keras hingga rasanya dapat membangunkan siapapun yang ada disekitar itu. “Ya, kamu kumatikan sekalian.” Aku mendengar jawaban dari laki-laki yang menindih wajahku.
Demi Tuhan kupikir aku benar-benar melewati malam ini bertemu dengan ajal. Yang dapat kulihat hanya titik hitam dalam kegelapan. Udaranya hanya menempel didinding-dindingnya hingga napasku tertahan di tenggorokan. Waktu yang tersisa hanya sedetik untuk berpikir selamat diujung kesadaran. Sementara mereka masih menahan kekuatan terakhir kaki dan tanganku yang coba melepaskan diri . Akhirnya kuputuskan sesuatu yang mengandung resiko lebih rendah dari kematian yang kutakutkan. Aku mengangkat kaku jari-jariku keatas dan berteriak lemah menyerah. Berkali-kali aku membutuhkan suara itu agar terdengar hingga mereka mulai mengendurkan cengkeramannya.
Aku terduduk diatas kasur sambil memeluk kedua kakiku. Butuh waktu untuk memenuhi paru-paru ini dengan udara. Dan tak banyak yang tertinggal dalam otakku. Tapi mereka terburu-buru tak memberi kesempatan padaku berpikir. Aku tak punya pilihan lain untuk menghindar. Namun sungguh pikiranku telah membeku disudut ruang sempit. Dengan separuh napas aku menjelaskan tuduhan bahwa aku menyimpan sepuluh kilogram ganja itu tidak benar. Belum lagi aku selesai menjelaskan mereka serempak maju dengan tangan yang sudah siap diayunkan. Tapi aku menahannya dengan tanda dari tanganku. Aku meneruskan, ganja yang ada hanya empat kilo gram. Itupun tak berada disini. Temanku yang menyimpannya. Ternyata mereka puas walau terus mengancamku jika perkataanku tadi tak terbukti.
Kepalaku lunglai. Aku terus menarik dan mencari-cari udara didekatku. Namun yang kurasakan mereka menertawaiku diam-diam. Sebentar mereka meninggalkan kamar dan seorang diantaranya kembali masuk sambil membuka-buka lemari dan tempat pakaian kotorku, mencari sesuatu. Sesekali ia melemparkan pandangan menyelidik kearahku. Karena tak berhasil ia keluar. Seorang gadis, anak ibu kost, melonggok dari kegelapan depan kamarku mencari tahu memuaskan rasa penasarannya. Namun hanya sebentar kami saling pandang dan ia kembali tengelam dibalik pintu. Tadi kudengar ibunya menjerit-jerit memohon agar para polisi yang sedang menyamar itu menghentikan aksinya. Ia tak ingin ada keributan dirumahnya karena masih berduka.
“Ini sepatu siapa ?” seorang laki-laki mengulurkan sebuah sepatu temanku, Hendri, yang ia tinggalkan tadi sore. “Itu punya anak kost ini” jawabku cepat. Aku kuatir kejujuranku akan menambah runyam keadaanku. Masalahnya mereka sedang mencari-cari tali untuk mengikatku. Tak berapa lama mereka mendapatkannya. Dengan cepat mereka mengikat kedua jempol tanganku ke belakang punggung. Dan kemudian membawaku keluar.
Di halaman depan kamar dalam keremangan aku melihat kedua temanku berjalan turun dari tingkat dua. Aku begitu senang melihatnya walau dalam keadaan terguncang. Rasanya seperti bertahun-tahun tak berjumpa. Namun setelah mendekat tak satu katapun yang mampu diucapkan. Hanya bertatapan sebentar, kemudian sibuk menenangkan hati masing-masing. Memang sedari tadi tak satu katapun yang kurencanakan untuk mereka. Seolah semua terbelah dan terkotak-kotak dalam lingkaran yang tak dapat kusentuh sisi-sisinya. Dan tiba-tiba aku merasa sendiri berjuang tanpa teman.
Seorang laki-laki besar mengandengku menuju pintu gerbang. Sebuah walky talky terayun-ayun ditangannya saat berjalan. Sesampainya disana ia mulai berbicara dengan seseorang entah dimana. Aku melihatnya masih mendekatkan alat itu kemulutnya dan mendengarkan suara yang keluar seperti pernah kulihat di film-film tentang kepahlawanan. Pasukan pelindung dan pelayan masyarakat. Sepertinya ia sedang menyakinkan lawan bicaranya lalu pembicaraan terputus.
Beberapa laki-laki lain hilir mudik seperti sedang memperhatikan sesuatu yang tak kumengerti. Tiba-tiba laki-laki tadi memandangku. “Mana dompetmu ?”, sialan, ternyata ia masih mengingat dompetku, batinku. Padahal selagi dikamar, beberapa detik mereka meninggalkanku, aku berhasil menyelipkan dompetku kebawah kasur. Sekarang aku harus kembali ke kamar bersamanya dan menyerahkan dompet itu. Isinya tak banyak, hanya beberapa ratus ribu uang dan sebuah KTP.
Didepan pintu gerbang sebuah motor bebek diparkir. Beberapa pria berdiri didekatnya menunggu dengan waspada. Aku mencari-cari namun tak kulihat sebuah mobilpun. Tak jauh dari tempat itu beberapa motor lain telah menunggu bersama penumpangnya. “Naik kamu !” seseorang dibelakangku membentak. “Ayo !” rasanya aku tak dapat menarik kakiku sendiri. Tiba-tiba saja seluruh persendianku kaku dan otakku seperti meleleh melupakan kebiasaan menaiki motor. Ditambah lagi dengan keadaan tanganku yang tak dapat kugunakan sebagai penyeimbang gerak tubuh. Belum lagi bentakan-bentakan ditelingaku membuatku gagap dan tak dapat bertindak tenang. Setelah beberapa kali kucoba akhirnya berhasil juga. Itupun seorang menahan tubuhku saat aku menaiki motor itu.
Aku duduk dibelakang seorang laki-laki yang siap menjalankan motor itu. Laki-laki lainnya telah berada dibelakangku dan membentakku. “Bajingan, turunkan kakimu !” suaranya pecah ditelingaku. Lalu ia menendang tumitku hingga kakiku terkulai. Aku baru sadar bahwa hanya mereka yang boleh menggunakan injakan motor itu. Laki-laki yang didepan menghentakkan punggungnya kebelakang agar aku tak terlalu dekat dengannya. Aku benar-benar bingung dengan maksud mereka padahal laki-laki yang dibelakang mendorongku kasar meminta tempat untuknya. Kini aku berada diantara mereka terhimpit oleh tubuh tak kukenal aromanya dan cacimaki yang tak kuketahui asal-usulnya.
Kemudian motor perlahan melaju melewati sebuah jalan tanah yang berkelok sebelum sampai dijalan beraspal. “Tunjukkan arahnya !” laki-laki dibelakangku menghardik sambil terus memukul wajah dan belakang kepalaku. Aku segera menurutinya. Tak boleh terlambat sedetikpun karena hanya akan melahirkan siksaan. Dan seperti itulah yang terjadi.
Sesampai dijalan raya Kusumanegara, dimana disatu sisi jalannya dimakamkan pahlawan bangsa, laki-laki dibelakangku memakaikan helm berkaca depan hitam kekepalaku. Rasanya seperti terkurung dalam ruang gelap dan sempit. Karenanya aku kembali berjuang melawan kepanikan yang tiba-tiba muncul dan kembali terengah-engah mencari udara dari lubang helm yang sebenarnya cukup lebar. Tapi hanya sedikit saja yang berhasil masuk ke paru-paru. Dari balik kaca gelap itu aku tak dapat melihat jelas satu gerakan manusiapun. Hanya cahaya redup dikejauhan dan suara derung kendaraan yang berpapasan dengan kami. Beberapa obrolan mereka berdua tak lagi dapat kudengar jelas.
Terlalu sulit mengingat jalan mana saja yang telah kami lalui sebelum tiba disebuah perempatan. Yang kuingat hanya orang-orang, kendaraan, pos polisi, dan lampu besar yang menerangi perempatan timur Malioboro. Lalu aku tak ingat lagi. “Sekarang kemana ?!” bentaknya dengan tinju mengancam. Aku berpikir dan tergopoh-gopoh memutuskan, “lurus pak !”, “ yang benar kamu !” ia melotot di samping wajahku, dan hampir saja ia memukulku. “Iya Pak, lurus, benar…lurus !” kataku setengah berteriak.
Jalan aspal itu terlalu kecil dilalui tiga mobil sekaligus. Pada jam malam seperti ini jalan itu terasa lengang dan panjang. Seperti sebuah lorong tak berujung dengan titik kecil cahaya pudar. Tiba-tiba laki-laki dibelakangku membentak histeris, “ siapa ini ?” ia memperlihatkan sebuah pesan singkat di handphoneku yang bunyinya “Gimana kabarnya Bang?”, sungguh aku tak mengenal nomor dan siapa pengirimnya. Dan aku menjelaskan kepadanya. Tapi, buk…. Kepalan tangannya membuat wajahku nyeri. Dua tiga pukulan kemudian menyusul cepat. Rasanya kejujuran seperti apapun dalam keadaan seperti ini tak ada bedanya dengan kebohongan. Semua pertanyaan hanya dijadikan alasan untuk menghukumku.
Dibagian jalan lain aku meminta mereka mau membukakan kaca hitam helmku. Aku benar-benar kehilangan kendali karena paru-paru ini mengering. Kepanikanku melihat arah dimalam hari dalam kaca hitam membuatku kesulitan menghirup udara yang lewat. Syukurku mereka setuju. Kemudian udara langsung memenuhi dada dan menyegarkan penglihatanku. Belum pernah rasanya selama puluhan tahun aku merasakan kerinduan yang luar biasa kepada angin kemudian mensyukurinya.
Tiba diperempatan Wirosaban, seingatku orang-orang mengatakan ada rumah sakit didekat sini, tapi aku belum pernah melihatnya. “Kemana nih?!”, “lurus Pak !” jawabku cepat karena telah mempersiapkannya sedari tadi. Didaerah ini beberapa rumah masih terbuka tapi hanya sedikit saja orang yang lalu lalang. Cahaya lampu disepanjang jalan melintas dimataku seperti sedang berpacu dengan waktu. Cahaya yang memang seharusnya ada untuk manusia. Tapi sungguh aku tak begitu perduli. Tak ada bedanya sekarang apakah cahaya-cahaya itu harus ada. Aku membutuhkan lebih dari itu. Mungkin sebuah kejaiban.
Diujung jalan terjauh yang pernah kulalui tiba-tiba motor berhenti. Padahal aku telah memberi aba-aba agar berbelok kekiri ke sebuah gang beraspal. Tapi mereka sepertinya tak percaya. Walaupun berkali-kali diintimidasi aku tetap mengatakan arah itu yang benar karena aku memang tak punya jawaban lain. “Turun kamu !” laki-laki dibelakangku telah berdiri tegak dipinggir jalan. Setelah aku turun ia langsung mendorongku dengan kuat ke tengah jalan yang sepi dan gelap. Sebuah pohon besar berdiri tegak seperti seorang raksasa murka melatar belakangi dan menjadi saksi saat laki-laki itu mencabut pistol dari pinggangnya dan mengacungkannya kearahku. Beberapa laki-laki yang sedari tadi terus mengawal sepanjang perjalanan berhenti dan memandang dingin dari atas sepeda motornya.
Tiba-tiba sebuah sepeda motor melaju kencang dari arah yang sama. Ketika itu aku sama sekali tak dapat menghindar karena begitu lelah dan terikat. Yang kulihat secepat kilat sebuah lampu terang makin dekat dan berbelok menghindar kemudian hilang dibelakangku. “Aku capek kerja seharian” teriak laki-laki tadi sambil menodongkan pistol dan menggoyang-goyangkannya kearahku. “Jangan bikin aku kesal !” tambahnya. “Kutembak kamu kalau terus berbohong !”.
Aku benar-benar tak mengerti. Demi Tuhan, aku tak tahu apa yang sebenarnya mereka inginkan. Aku sudah mencoba menjelaskan tapi mereka hanya diam dan sepertinya berpihak pada pendapatnya sendiri. Kemudian aku pasrah dan menunggu. Kukira aku benar-benar akan ditembak disini, didadaku, daan mati dijalanan seperti anjing tak bertuan. Aku merasakan suatu getaran hebat menyerang dan hampir melumpuhkan seluruh persendianku. Tuhan terlalu jauh, pikirku, namun tiba-tiba aku menjadi hambanya yang patuh dan mulai mengemis. Oh Tuhan, jangan sekarang. Masih ada seseorang yang ingin kutemui dan beberapa kata yang kuucapkan untuknya.
Seperti Tuhan telah memaksaku berbicara dan meminta kepadanya dibawah ancaman revolver yang tersamar gelap. Dan keajaiban itu datang. Hanya beberapa detik kemudian laki-laki itu menurunkan pistolnya dan mulai melemah dengan kata-katanya. Seingatku inilah doa tercepat yang dikabulkan Tuhan sepanjang hidupku. Beberapa dosa lainnya ia simpan untukku hingga suatu hari nanti.
Kami meneruskan lagi perjalanan melewati jalan kecil yang kutunjuk tadi. Aspalnya sudah tak layak. Dibanyak tempat telah hancur oleh air dan kendaraan berat yang melintas. Beberapa orang biasanya menuduh kendaraan-kendaraan tersebut sebagai penyebab kerusakan itu. Yang lainnya memastikan kecurangan pihak pemborong yang dengan sengaja menurunkan kualitas ketahanan jalan lain dari yang semestinya. Tak lama kami mendapati perempatan lagi. “Ke kiri Pak !” kataku cepat sebelum ditanya. “Yang benar kamu !” tanyanya tak percaya “Mana rumahnya ?!” aku heran, baru kali ini dalam hidupku mendapati orang yang paling terburu-buru dan sangat tak sabar. Kupikir tak ada yang menyamai ibuku. Ternyata laki-laki ini, ketaksabarannya melebihi perempuan tua yang sedang resah.
Dimalam hari sangat sulit melihat perbedaan rumah-rumah disekitar sini. Bentuknya identik dan memiliki halaman serta jenis pepohnan yang tak jauh beda. Belum lagi menghadapi suara-suara mendesak dibelakangku membuat kenanganku terguncang. Aku pernah dua kali datang kemari, tapi disiang hari. Kini semuanya terlihat jauh berbeda. “Ini Pak rumahnya !” aku berseru. Sepeda motor segera berbelok cepat. Namun belum sampai memasuki pelataran rumah aku segera menyadari telah menunjuk rumah yang salah. “Bukan yang ini Pak !” kataku kawatir. “Sialan kamu, mana rumahnya ?!” ia menjerit ditelingaku. Tampaknya kesabaran laki-laki ini tak dapat ditawar-tawar lagi. Dan aku mulai kawatir. “Saya lupa Pak, semuanya mirip, mungkin masih didepan lagi “, aku memohon sebelum ia mulai memukulku lagi. “Awas kamu bohong !” matanya yang merah berkilat-kilat di keremangan.
Beberapa puluh meter kemudian barulah aku menemukan rumah itu. Setibanya dihalaman aku bersyukur, temanku tak ada dikamarnya. Itu kupastikan dari pintu yang tertutup rapat dan tak setitik cahayapun yang keluar dari kamar itu. Lagi pula aku telah diberitahu sebelumnya ia tak berada disini malam ini makanya aku berani mengajak mereka ke mari. Kupikir aku telah menyelamatkannya dan menangung semua ini sendiri.
Dibawah pohon jambu biji, didepan rumah pemilik kost, tiga bayangan manusia sedang berkumpul dibawah temaram lampu dan membicarakan sesuatu. Dengan tergopoh-gopoh aku digiring oleh tiga laki-laki mendekati bayangan itu. “Ini orangnya ?” laki-laki yang mencengkeram lenganku mulai tak sabar setibanya disitu. “Yang ini ?” ia menuding dengan kasar. “Ayo jawab !” aku tak melihat seorang laki-lakipun yang kukenal. Seorang perempuan usia pertengahan tiga puluhan pernah kutemui beberapa hari yang lalu, saat mencari kost untuk temanku itu. “Ada apa ini ?” seorang laki-laki bertubuh kekar memberanikan diri seraya menatap cemas pada kami.
“Jangan gegabah Mas, apa yang terjadi ?” sekarang ia telah berdiri dalam jarak, kemudian seorang laki-laki disampingku menerangkan kepada mereka bahwa didalam kamar paling ujung itu diduga menjadi tempat penyimpanan ganja. Laki-laki tadi tampak begitu terkejut. Tapi ia berusaha tetap tenang. “Tapi penghuninya sedang keluar, Pak !” kata pemilik kost tersebut.
“Bapak punya kuncinya ?”
“ Wah, kami enggak punya Pak !” ia kemudian mencoba mengingat kembali beberapa saat tapi tak menemukan apa-apa dalam kenangannya. Lalu mereka mendiskusikan mencari jalan untuk membuka pintu kamar tersebut. Pemilik kost itu menolak ketika salah seorang mengusulkan agar pintu didobrak.
Beberapa orang terlihat mondar-mandir didepan kamar itu, mengintip ke dalam dan sesekali mencoba membukanya dengan wajar seperti rasa penasaran seseorang dengan ban sepedanya yang kempis. Sementara aku hampir tak sanggup lagi menjejakkan kaki ke tanah. Betapa tenaga dan jiwaku terkuras hingga sumsum terasa kering. Mulutku terikat oleh rasa takut yang luar biasa seperti tutup pasir.
“Tolong Bu, berikan saya air, saya haus !” aku memohon kepada perempuan yang sedari tadi memperhatikanku iba. Aku tak peduli dengan pendapat laki-laki yang sedang mengawasi disampingku. Dadaku telah terbakar. Setelah melihat laki-laki itu diam ia langsung masuk dan segera kembali dengan teko plastik dan sebuah gelas ditangannya yang gemuk. Hampir saja kuhabiskan segelas air dari tangan ibu tadi dengan sekali teguk jika laki-laki tadi tak menahannya, “jangan terlalu banyak “ ia langsung menangkap gelas itu dari tangannya, dan mengembalikannya ke atas bangku panjang. Rasanya aku belum memuaskan tenggorokannku dan masih ada kekeringan yang tersisa.
“Duduk !” katanya dengan lantang, kini ikatan tanganku dilepas. Dalam keremangan aku dapat melihat laki-laki ini tak lebih tinggi dariku. Kulitnya putih dan berwajah sembab. Matanya menyala seperti ingin membakar apapun yang ada dihadapannya. Kemudian ia mengeluarkan handphoneku dari kantong celananya. “Sms temanmu itu !” perintahnya tenang kepadaku. Tapi aku dapat merasakan sebuah ancaman dari suaranya.
“Suruh ia datang kemari sekarang !”
Sebelumnya aku benar-benar tak menduga hal ini. Sekarang aku harus berpikir cepat untuk menyelamatkan temanku itu. Sementara untuk menolak aku tak berani. Aku tak sanggup membayangkan amarah mereka jika aku menghalang-halangi perintah iu. Sambil berpikir, perlahan aku mengetik huruf demi huruf hingga selesai. Lalu ia sendiri yang mengirimnya. Ente segera datang kekost ente, aku mau ambil uang yang tadi siang. Begitu kalimat yang kutuliskan, pertama aku tak pernah memanggilnya ”ente”, kedua tak pernah ada urusan uang siang tadi. Aku berharap ia memahami keganjilan itu dan segera mengerti permasalahanku saat ini.
Kemudian beberapa menit berlalu dalam keheningan. Dan tiba-tiba laki-laki disampingku tersenyum puas saat sms itu dibalas dengan kalimat yang sesuai dengan harapannya. Hampir saja tulang-tulangku jatuh dan bertumpuk dibawah kakiku, mendengarnya ia akan datang. Kata-kata itu membuatku membencinya. Laki-laki tadi segera bangkit dan meneriakkan keberhasilaannya kepada teman-temannya yang masih berkumpul didepan kamar itu. Diam-diam aku memaki semuanya. Dan aku bersumpah tak akan memaafkannya jika ia benar-benar tertangkap karena aku akan menghabiskan sisa umurku dengan rasa bersalah.
Sambil menunggu direntang hening waktu mataku mencari-cari kemungkinan yang dapat mengubah takdirku kesekeliling halaman rumah itu. Beberapa langkah disamping kiriku sebuah tembok berdiri memanjang setinggi leher orang dewasa menggelitik pikiranku. Aku mulai mengira-ira waktu tercepat yang dibutuhkan untuk sampai kesana, dan kemungkinan dapat meloncatinya. Lalu menilai seberapa cepat laki-laki disampingku yang sedang lengah itu mengejarku atau menembakku dengan pelurunya. Tapi yang kukuatirkan ia tak dapat benar-benar menembak kakiku jika rencanaku terbuki karena kuyakin ia tak mampu. Akhirnya aku tetap duduk dan menyerah dengan kelemahannya. Beberapa saat aku masih memandang tembok itu, dan tiba-tiba muak dengan diriku sendiri karena tak mampu melakukan hal-hal yang mustahil.
“Suruh dia datang, dan jangan bicara macam-macam !” ada tekanan suara yang menyuruhku agar tak membantahnya. “Kalau tidak, kutembak kau!”matanya mulai mengancam. Dan seluruh mata laki-laki yang ada disitu, dan rupanya mereka sudah tak sabar dan segera ingin mendapatkan kepastian. Saat aku mendekati handphone ketelinga sebuah suara menyahut, “ya, sebentar lagi aku sampai !” detak jantungku serasa terdiam bisu. Ingin rasanya kuteriakkan “lariii…..!” kepadanya, tapi kurasakan moncong revolver itu semakin menekan rusuk kiriku. Sementara laki-laki hitam tersebut semakin mendekatkan telinganya ke handphoneku.
“Kamu dimana sekarang ?” Tanya suara diseberang sana penasaran. Aku harus menghalaunya, pikirku cepat. “Aku sedang mampir diwarung .” jawabku ragu. “Rokokku habis ,” laanjutku sambil menerangkan sebuah merek rokok kretek terkenal. Saat itu aku sangat berharap ia dapat menemukan keganjilan karena ia tahu aku tak merokok. Namun hal itu tak dapat ia tangkap walau kuulangi beberapa kali.
“Kamu amankan ?” ia mendesak.
Ya ampun! Aku hampir berteriak histeris karenanya. Benar-benar sebuah pertanyaan yang sangat TOLOL dalam situasi seperti ini. Dan lebih bodoh lagi jika kukatakan ” TIDAK ”. Bagaimana aku dapat jujur padanya jika hal itu akan membuat tulang rusukku patah dan aku akan diinjak-injak sepanjang malam. Tiba-tiba saja aku sangat membencinya melebihi kepada orang-orang disekelilingku. Langsung saja aku memaki-maki di handphone dengan kata-kata yang belum pernah kuucapkan untuknya. Dan berharap kali ini ia mengerti aku sedang dalam kondisi tak normal.
“Ya aku segera datang !” suaranya terdengar terburu-buru dan hilang dengan sebuah tanda bunyi di handphoneku. Aku benar-benar muak ingin muntah sekarang.
Oleh sebuah perintah yang sederhana mereka bergegas sembunyi di beberapa tempat yang gelap. Aku kembali dibawa ke tempat tadi, dibawah pohon jambu yang terhalang oleh tumpukan batu bata merah. Disitu aku berharap waktu benar-benar berhenti dan semua yang hidup tak bergerak lagi agar tak kusaksikan lagi masa depanku. Tapi sekali lagi, itu benar-benar sebuah kemustahilan yang tak dapat kuubah. Dan sebaliknya, waktu sangat cepat bergulir.
“Itu dia, itu dia !” seorang laki-laki berseru pelan kepada temannya yang sama-sama menunduk. Kulihat sebuah bayangan hitam muncul dijalan dari sebalik dinding rumah bersama derum motornya. Kemudian ia berbelok ke halaman depan kost yang telah terkepung. Belum sempat ia menghentikan motornya semua laki-laki yang bersembunyi dibalik apa saja berhamburan dari kegelapan dan langsung menghajarnya. Wajahnya tampak kebingungan melihat sekeliling orang-orang yang mengerumuninya. Ia mencoba mendapatkan jawaban tapi mereka malah memukul wajahnya dengan teriakan tuduhan. Setelah ia melihatku keluar dari persembunyian barulah ia sadar telah masuk perangkap.
Dengan kunci yang dibawanya kamar itu dibuka. Sebuah tas besar hitam dipojok kamar langsung mereka buka. Aku dapat merasakan betapa mereka bersuka cita dengan hasil kerjanya. “Ini yang terbesar selama empat tahun !” seru seorang laki-laki. “Jongkok disana !” ia memerintahku pergi kesudut kamar. Dan Andri di sudut lainnya. Kulihat temanku itu meminta ampun karena tendangan bertubi-tubi ketubuh dan kepalanya. Beberapa laki-laki bergantian menyerangnya dan memaki dengan kata-kata kasar.
“Menghadap tembok !” bentak seseorang geram karena memergokiku mengintip penyiksaan itu dari bawah lengan. Sedikitpun kami tak boleh mengubah posisi menyerah. Kedua tangan diatas kepala. Dan tak ada alasan untuk tidak patuh. Seperti tawanan perang.
Beberapa menit kemudian seorang laki-laki yang dikenalkan sebagai pengurus RT setempat datang. Wajahnya tampak tegang dan menanyakan tentang sesuatu kepada mereka. Lalu tak satu katapun mereka ucapkan. Aku dan temanku diperintahkan jongkok menghadap ganja-ganja yang telah ditebar diatas lantai. Dan laki-laki tadi hanya berdiri menyaksikan. Setelah beberapa saat ia pergi membawa kesaksian. Sementara aku masih tertunduk lesu memikirkan kesialan hidup ini. Mengapa aku tak mati saja tiga tahun lalu, batinku. Disaat aku telah mempersiapkan seluruh jawaban untuk setiap detik perjalanan hidupku. Disaat kematian menjadi kerinduan yang tak tertahankan.
Beberapa laki-laki lain yang memakai tanda pengenal didadanya masuk dan berkerumun didepan kami. Mereka mulai bertanya-tanya kepada kami dan menulisnya dengan cepat disebuah buku kecil. Nama, asal, usia, dan pekerjaan. Sesak didadaku sedikit terobati oleh sikap mereka yang sopan. Prasangkaku bahwa mereka polisi langsung terbantahkan. Mereka hanya para pemburu berita demi mempertahankan kepulan asap didapurnya. Kemudian Tanya jawab singkat itu diakhiri dengan muntahan-muntahan cahaya-cahaya dari kamera yang tergantung di leher mereka. Tak seperti biasanya, cahaya-caahaya itu kini lebih menyakitkan. Aku akan terkenal, batinku. Atau tercemar.
Tapi aku belum melihat kru salah satu televisi yang biasanya mengejar para penjahat dengan kamera videonya. Aku sedikit bersyukur. Tapi mungkinkah sebenarnya mereka ada namun tak terlihat karena aku belum berani benar-benar mengangkat wajah. Beberapa orang kemudian kembali melepaskan cahaya-cahaya dari kamera kameranya di sudut yang lain, lalu pergi.
Rasanya terlalu lama aku telah berada dikamar ini dan hanya menyaksikan orang-orang berputar-putar, sampai kupikir semua ini takan berakhr. Tapi kemudian terdengar sebuah perintah. Seorang laki-laki menyatukan jempol tangan kiriku dengan jempol tangan kanan temanku itu dengan sebuah tali yang diikat erat. “Ayo jalan !” perintahnya kemudian. Aku bangkit dengan enggan, keluar melewati orang-orang yang tak ingin melepaskan perhatiannya. Beberapa motor masih diparkir dan banyak orang disekeliling kami. Sebuah mobil kijang dengan pintu terbuka dihalaman. Lalu kami memasukinya dengan susah payah. Kemudian seorang laki-laki menyusul dan duduk disampingku. Lalu pintu ditutup meninggalkan suara-suara pendapat di halaman.
Sesaat keheningan membiarkan kami saat mobil mulai bergerak pelan dalam gelap malam dan jalan kecil. Sopir didepan kami hanya diam seperti laki-laki asing disampingku. Tapi aku merasa terheran-heran sendiri setelah mencuri tatap laki-laki disisiku dengan ekor mata. Mengapa malam ini begitu banyak laki-laki yang berwajah sembab dan berkelopak mata menonjol seolah akan jatuh dan bergelantungan dirahangnya, laki-laki ini tampak lebih kecil diusianya.
Kami masih terguncang saat mobil menggeliat menghindari lubang-lubang dijalan kecil beraspal. Andri menyentuh jari-jari tangan kiriku dan aku membalasnya dengan sebuah tekanan. Kami saling melirik dalam keremangan dan berhasil menegaskan bahwa kami akan bersabar dan bertahan apapun yang akan terjadi untuk pertama kalinya aku bersyukur dia ada disini. Tapi kami tak dapat melihat apapun diseberang jendela seolah malam telah berubah menjadi jelaga.
“Gimana nih mas ?” laki-laki disampingku meminta pendapat kepada si supir, tapi ia hanya diam. Hanya kepalanya yang besar terlihat bergerak-gerak dan sesekali melihat keluar jendela mobil.
“Kita jus aja mereka sebelum wartawan datang “ sambungnya sambil memperbaiki letak sesuatu di pinggangnya. Mendadak seluruh tubuhku membeku menunggu jawaban. Mereka akan menembak kami disuatu tempat pikirku, dan mengadu kepada para pemburu berita, mereka terpaksa melakukannya karena kami melawan dan berusaha melarikan diri. Kemudian gambar kami yang sedang tertatih dengan perban berdarah dikaki tiba-tiba terkenal dimana-mana. Lalu orang-orang mencacimaki dan memuji.
Setelah menunggu beberapa saat aku berdo’a lagi bagi keselamatan laki-laki dibelakang stir itu karena menolak usulan temannya. Dan jantungku kembali normal. Tapi hanya sebentar saja, tak sampai sepeminuman teh. Laki-laki itu menatapku sinis dan mulai memukuliku. Kaki, tulang rusuk, dan wajahku. Dan mulutnya tak henti-hentinya mengeluarkan kata-kata hinaan. Sesekali tangannya menyeberang kekepalaku dan menghantam wajah Andri yang mulai membeku. Tubuhnya terguncang. Sementara aku berharap ia tak jadi menangis karena aku dapat melihat kemurungan wajahnya dan sinar matanya seperti sedang menyesali sebuah kematian yang tak dapat diterimanya.
Karena lebih dekat, maka akulah yang paling banyak menerima pukulan. Sedapat mungkin aku menangkis dengan tangan kananku. Tapi ia tampak tak senang. Ia menuduhku melakukan perlawanan. Selanjutnya dengan bebas beberapa kali ia dapat menghindari tangkisanku dengan pukulan pertama yang mengecoh lalu menghajarku dengan pukulan kedua ditempat yang terbuka. Dan matanya berbinar setiap kali berhasil melakukannya. Sementara mulutnya tak pernah tak melahirkan kata makian. Kata-kata yang hanya layak diucapkan didalam film. Aku sempat berpikir bagaimana ia dapat melakukannya. Apakah ini akibat dari kecintaan yang berlebihan kepada negaranya ? Dan aku benar-benar tak sempat menanyakannya. Kupikir aku terlalu sibuk mengira-ira seberapa tebal bibirku sekarang.
Entah berapa banyak belokan yang tak kusadari telah dilalui hingga belokan terakhir menuju sebuah halaman luas yang dipagari beberapa bangunan bertingkat rendah. Kendaraan-kendaraan yang diparkir dan orang-orang tampak berkerumun menunggu. Dan mobil berhenti. Dengan cepat pintu dibuka lalu perlahan kami turun diantara kerumunan dan hiruk pikuk. Aku hanya menunduk melindungi wajah dari mata-mata mereka, namun tetap mencari sesuatu disini. Wartawan, kru televisi, dan beberapa laki-laki berseragam polisi. Sedetik pandanganku membentur sebuah lambang yang sangat familier disebuah dinding bangunan. Disinilah semua proses hukum akan dimulai dan entah apa yang terjadi nanti.
Memasuki sebuah koridor setelah menyeberangi halaman yang tak menyisakan tanah membuat mataku silau. Lantai marmer yang kuduga berwarna putih memantulkan kilau cahaya lampu yang terikat kuat dilangit-langit. Andai sepi, lorong ini akan menciptakan sebuah ilusi tentang cahaya yang menceraikan jiwa dari tubuhnya. Seseorang berjubah putih terang mengulurkan tangan halusnya kepada kematian. Dan seorang laki-laki bersayap lembut dengan lingkaran cahaya kecil diatas kepalanya tersenyum diujung sana.
Tapi gemuruh langkah orang-orang yang merubungi kami mengubur semua itu. Aku tak dapat merasakan berapa banyak tangan yang menyentuhku atau mendorong disepanjang lorong hingga tiba ditangga pertama. Dan ini terlalu berlebihan rasanya. Tak satu celahpun melarikan diri tampak. Namun mereka memperlakukan kami seperti buronan kelas kakap yang dikira dapat mengecoh petugas keamanan dengan satu gerakan tangan. Aku lupa, sekarang apapun dapat dijual dengan bungkus yang menarik. Dan beberapa orang mendapat keuntungan.
Dilantai dua suasananya agak berbeda. Ada beberapa ruang kecil berdinding kaca hitam dengan tulisan besar yang tak sempat kubaca, cukup terang disini. Sepertinya ruangan ini tak pernah mati. Tapi aku tak melihat ada orang yang sedang bekerja dalam ruangan-ruangan itu. Sampai diujung koridor kami berbelok kekanan melewati beberapa ruang kantor yang terbuka. Jantungku tak berhenti berdegub. Aku berusaha mencari seseorang dalam kenanganku yang semoga dapat menguatkan tapi tak dapat kutemukan. Bahkan orang-orang yang kukenal dekat tak dapat kuingat lagi. Yang tersisa hanyalah aku dan segala masalah disekelilingku. Sepertinya aku sedang terseret arus besar, dicengkeram gelungan air menuju laut berbadai. Dan seluruh waktu hidupku akan segera berakhir disini.
Ruangan diujung lorong itu mengeluarkan cahaya lebih terang dan suara-suara. Sesampainya didepan pintu napasku tercekat di tenggorokan dan mematikan langkahku. Mataku terbentur sesosok tubuh yang kukenal betul. Ya ampun, Opick. Temanku yang sedari tadi kutunggu di kostku karena janjinya. Apa yang terjadi ? Aku hampir meneriakkan kata batinku. Ia tertunduk lunglai menghadap tembok dengan tangan terikat ke belakang. Rambut yang sebelumnya dapat menutupi wajah kini telah tercabik-cabik oleh sesuatu yang tajam. Aku hampir tak mengenali wajahnya karena luka dan darah saat duduk didekatnya. Hidungnya yang panjang tampak lebih besar dari aslinya. Kulihat ia sedang berusaha keras menarik napas lewat hidungnya. Dan terdengar suara seperti orang yang sedang terhimpit. Tak dapat kubayangkan apa yang telah diperbuat mereka hingga celana jeans dan kaosnya berlumuran darah. Dan kini darah itu sedang menyumbat rongga hidungnya. Beberapa kali ia menengadah sekedar mencari celah agar dapat menghirup udara.
Aku tak ingat lagi kapan tali pengikat yang menyatukan ibu jari tanganku dan temanku dilepas. Yang kutahu kami bertiga telah berada diruangan ini menunggu kehancuran. Semoga saja itu menjadi kata-kata yang tepat melukiskan perasaan kami. Karena semua orang disitu rasanya ingin menginjak-injak kami walau hanya dengan matanya. Dan kata-kata makian penuh kebencian masih berdesak-desakan ditelingaku dan memenuhi seluruh sudut ruang seperti pengap. Kadang aku tak tahu lagi siapa saja yang telah menanyakan nama, usia, dan asalku. Selalu saja mereka mencatatnya disebuah kertas setelah itu dan pergi meninggalkan beberapa kilatan cahaya kamera. Namun beberapa laki-laki berwajah murka menanyakan sesuatu dengan keras dan langsung menendang tubuh kami tanpa pernah berharap jawaban apapun. Yang mereka inginkan ketakutan lahir kembali dan memberikan anugerah bagi mereka.
Tak lama berselang Feri dan Bayu muncul di pintu dengan sikap seperti pembantu yang siap melayani majikannya. Matanya hampir tak sanggup menatap saat aku mengangkat wajah. Dan mereka terlihat semakin kecil dan kurus diantara laki-laki berbadan tegap tersebut. Tapi sepertinya mereka baik-baik saja. Tak ada jejak siksaan ditubuh mereka walau kesadarannya tertatih-tatih. Dan, lengkaplah sudah sekarang. Lima orang pesakitan yang saling kenal berkumpul tanpa daya. Tak dapat berbicara satu sama lain walau hanya dengan isyarat. Sebuah larangan yang sangat tak beralasan untuk kami langgar. Sementara aku telah lupa dengan luka dikepala yang entah seberapa lebar. Karena kupikir selama belum pingsan aku tetap baik-baik saja. Dan darah kental telah berhenti mengalir entah mulai kapan.
Ketika para pemburu berita telah menghilang ada sekitar delapan laki-laki diruangan itu. Mereka seperti sedang mempersiapkan sesuatu. Lima orang laki-laki sedang berada di depan komputer masing-masing yang menyala berada tepat didepan kami. Beberapa saat mereka meratap lekat ke layar-layar tersebut lalu sesekali melemparkan pandangan menyelidik ke arah kami.
Secara bersamaan kami dihadapkan kepada lima laki-laki itu masing-masing diatas sebuah kursi plastik. Walau telah mendapat sebuah singgasana namun tak sedetikpun kenyamanan kurasakan. Aku duduk didepan meja yang sedang menahan sebuah komputer yang ketinggalan zaman dan paling dekat dengan pintu masuk. Disebelah kananku berturut-turut Andri, Feri, Bayu, dan Opick. Sementara pendingin ruangan bekerja amat sempurna melengkapi rasa dingin dan ketakutan. Tapi aku menahannya dengan ketat dihadapan laki-laki berusia pertengahan empat puluhan.
Kupikir ia akan tampak lebih muda jika dapat melepaskan wajah murungnya. Lalu ia menatapku dengan mata lelahnya. Yang kelopaknya telah mengendur dan berbicara setengah berbisik dengan bibirnya yang hitam dan tebal. Aku menebak ia pernah memiliki tubuh idaman saat mudanya. Tinggi dan berdada bidang. Tapi sekarang ia tampak kelelahan dengan tubuhnya. Mulanya ia bertanya tentang nama, usia, alamat, status perkawinan, dan pekerjaan serta pengalaman dengan pelanggaran hukum. Malam ini entah berapa kali aku mendengar pertanyaan yang sama dan jawaban yang sama pula. Beberapa jawabanku palsu namun ia tetap menuliskannya tanpa ragu di komputer. Setelah menatap sebentar hasilnya ia mengangkat kembali wajahnya dan memaksaku menceritakan kronologis penangkapan dan beberapa hubungan dengan tersangka lain. Selama itu aku tak melihat perubahan diraut wajahnya. Namun aku dapat menangkap keramahan dimatanya. Dan sekali waktu ia berusaha keras menyembunyikan senyum disudut bibirnya. Seorang bapak, batinku.
Seorang laki-laki masuk menjinjing sekantong besar plastik hitam berisi nasi gudeg dalam bungkus daun pisang. Kami dipaksa makan bersama mereka. Jika diijinkan aku lebih memilih tak menyentuhnya. Mulutku belum dapat menerima makanan karena perihnya. Lagipula sulit untuk dapat menikmati makanan seenak apapun dalam keadaan seperti ini. Namun Opick yang keadaannya lebih parah saja tak dapat menolaknya. Tentunya dibawah ancaman. ”Habiskan !” begitu perintahnya. Dan terbukti tak seorangpun sukses menghabiskannya. Padahal aku telah berusaha keras menjejalkannya ke mulut seperti yang dilakukan keempat temanku itu. Sisa nasi itu akhirnya teronggok ditempat sampah yang telah penuh sebelumnya. Orang-orang yang tak mungkin membiarkan sebutir nasipun terbuang sia-sia karena kemiskinannya akan mengutuk semua ini.
Laki-laki setengah baya itu diam beberapa lama dengan komputernya. Kesempatan itu kupergunakan untuk melihat beberapa benda yang ada disitu. Disebuah dinding dibelakang penyidikku tergantung sebuah papan putih tertulis nama-nama orang yang tertangkap. Aku terkejut ketika pandanganku tertumbuk pada sebuah nama yang sangat kukenal. Aku hampir tertawa. Dunia ini begitu sempit, pikirku, ia adalah seorang laki-laki periang dan penuh dengan ide-ide. Pertama kali aku mengenalnya saat kami sama-sama berada dalam satu kost diawal kuliah. Karena satu kampus dan satu selera akhirnya bersama beberapa teman lainnya kami memutuskan melakukan persiapan mengikuti opspek dan penataran P4. Namun setelah semuanya berakhir beberapa bulan kemudian ia memutuskan untuk pindah karena kampusnya masih terpisah dengan kampus terpadu. Semenjak itu hanya beberapa kali kami bertemu. Itu terjadi tiga belas tahun yang lalu.
Yang membuatku merinding ada sebuah kalimat singkat diujung atas papan putih tersebut. “Unit II gila…..” penghuni ruangan ini seperti ingin mengatakan kepada orang-orang yang membacanya, sebuah maksud, yang begitu berarti jangan main-main dengan mereka. Tapi aku tak begitu yakin dan terus menduga-duga. Karena kurasa telah begitu lama kami disini aku mulai mencari petunjuk waktu tapi tak kutemukan. Tak mungkin rasanya ruangan ini tak memiliki jam dinding. Aku yakin benda itu ada tapi aku tetap tak berhasil menemukannya. Yang kurasakan malam telah larut. Dan kantung kemihku telah penuh.
Dengan izin penyidikku aku diantar seorang laki-laki pendiam dan gemuk ke kamar kecil diujung koridor yang hanya berjarak satu meter dengan pintu ruangan itu. Dengan wajahnya yang penuh lemak ia memperhatikanku membuka celana. Aku benar-benar merasa tak nyaman dibuatnya. Rasanya sudah berjam-jam aku berdiri namun tak setetes airpun yang keluar. Puncaknya saat ia menggenggam sesuatu dipinggangnya. Aku mengira ia akan menembakku. Habis sudah keinginanku untuk itu. Kupikir lebih baik air itu membeku dalam perutku asalkan dapat segera bergabung diruangan itu dengan teman-temanku. “Jangan lama-lama” katanya dingin sambil meraba-raba pistol dibalik bajunya. Tapi akhirnya ia melihat kekuatiran dan usaha kerasku dalam satu waktu tak membuahkan hasil membuat ia sadar dan meninggalkanku sendiri tanpa melepaskan pengawasannya. Dan aku sangat berterima kasih atas pengertiannya.
Setelah kembali penyidik itu memaksaku menjawab beberapa pertanyaan. Kemudian aku diperintahkan duduk diantara barisan kursi plastik yang merapat ke dinding dibelakangku. Sementara temanku yang lain masih menghadapi pertanyaan dari penyidiknya masing-masing. Diam-diam aku berharap apapun yang mereka butuhkan malam ini segera selesai karena secara fisik dan mental aku sudah tak tahan lagi. Aku ingin segera tidur dan terbangun diatas kasur kamar kostku sendiri.
Tak lama berselang dua orang laki-laki masuk dan menggiring Opick ke luar. Mereka berhenti di dalam lorong dekat ruangan itu sehingga aku dapat melihatnya dari kursiku. Empat orang atau lebih laki-laki mengelilingi temanku itu dan menanyakan sesuatu yang tak begitu jelas kudengar. Lalu suara-suara itu meninggi dan penuh ancaman. Seseorang dengan kasar membuka bajunya dan membuatnya bertelanjang dada. Ia terus menunduk menghindari pandangan yang mengancamnya. Pandangan yamg telah menyebabkan darah keluar dari hidungnya dan hampir seluruh wajahnya terluka. Namun setelah itu ia tak dapat melihat apapun. Hanya kegelapan sebuah lakban hitam menutup matanya, menyeberangi telinga hingga belakang kepalanya. Laki-laki lainhya mengikat tangannya dengan sebuah borgol kecil khusus dibuat untuk mencengkeram kedua ibu jari. Aku tak dapat melihat semuanya. Terlarang. Tapi celah dipintu yang terbuka begitu merangsang otakku.
Tiba-tiba sebuah lengkingan menusuk telingaku hingga bulu kudukku berdiri. Lalu disusul teriakan-teriakan dan bunyi seperti durian runtuh. Harapanku, bahkan yang paling sederhanapun, telah runtuh. Aku tak dapat tidur malam ini. Mereka sedang menyiksa temanku dalam kegelapan yang diciptakan sendiri untuknya. Semangat yang sedari tadi mulai pulih kini menjadi serpihan-serpihan kecil dan menumpuk diantara kakiku. Aku mendapat giliranku nanti, pikirku. Mereka memukul Opick hingga rubuh lalu menginjak-injaknya. Ia mengerang dan meminta ampun. Suara teriakannya semakin menjadi-jadi seperti lolongan ketika seorang laki-laki menyeretnya dengan keras ke sepanjang koridor hingga tak terjangkau mataku. Namun aku masih dapat mendengar suaranya yang hampir putus asa.
Kudengar ia sedang berbicara dengan suara histeris kepada mereka. Lalu suara-suara menyakitkan mengikutinya. Tapi ia tetap meracau. Sepertinya ia sedang berusaha meyakinkan mereka tentang sesuatu yang tak kupahami. Tapi kata-kata itu dibalas dengan siksaan lain. Sekarang ia berteriak menangis meminta ampun karena tak tahan lagi menerima siksaan itu. Seperti suara raungan orang-orang yang pernah kudengar disebuah rekaman seorang ahli tambang saat ia sedang meneliti dikedalaman kerak bumi. Dimana beberapa orang kemudian meyakini suara-suara itu berasal dari penduduk alam kubur, sementara aku tak sanggup lagi membayangkan rasa sakitnya. Seperti teman-temanku yang lain, mereka mulai terlihat gelisah diatas kursinya. Sebentar-sebentar sebuah peringatan mengancamku ditelinga. Aku yang selanjutnya. Dan tiba-tiba mereka telah berubah menjadi suatu mimpi buruk bagiku.
Salah seorang diantaranya kemudian masuk dengan cepat kearahku, segera aku menjatuhkan pandangan ke lantai dibawah kakiku. Tapi dia berbelok ke sebuah lemari besi berwarna biru keabu-abuan dan mulai mengacak isinya. Beberapa laci ia buka dan tutup dengan tergesa-gesa. Dan akhirnya mendapatkan apa yang ia cari. Sesuatu yang tampak seperti penjepit. Lalu ia kembali kepada teman-temannya sambil merapatkan pintu. Tapi celah itu masih ada walau tampak lebih sempit dari sebelumnya.
Temanku terlihat lagi diantara celah itu namun tak sempurna. Matanya masih tertutup dan tubuhnya melengkung mengingatkanku pada padi menguning disawah. Ia masih terus menerus ditanya tentang asal-usul narkoba yang dibawanya dan diminta menjebak seseorang yang dikenalnya. Dan aku tak mendengar apa jawabannya. Tak lama teriakan demi teriakan memecah keheningan memenuhi segala ruangan. Teman-temanku yang lain bertambah gusar diatas kursinya. Para penyidik yang masih sibuk dengan memperhatikan kami dari balik komputernya. Sementara aku terjepit diskusi membeku dan selalu berharap Tuhan tak kemana-mana.
Empat laki-laki atau lebih merebahkan tubuh Opick kelantai hingga tangannya yang masih diborgol terjepit oleh tubuhnya sendiri. Masing-masing mengunci setiap anggota tubuh temanku itu hingga tak dapat bergerak. Kemudian mereka mulai menciptakan rasa sakit demi rasa sakit yang hampir tak dapat diteriakkan. Sepertinya suaranya hanya berakhir diujung lidah. Aku benar-benar tak tahan lagi berada disitudan berharap semuanya segera berakhir entah dengan cara apapun. Dan entah berapa lama kemudian suara-suara itu mereda hingga hanya menyisakan rintihan-rintihan kecil yang menyayat.
Namun jeritannya kembali terdengar melampaui kekuatan suaranya. Tubuhnya meronta-ronta sebagai hasrat menceraikan kesakitan yang luar biasa. Kata-kata ampun yang mungkin tak pernah ia ucapkan kepada Tuhannya kini dipersembahkan bagi mereka yang sedang mencabik-cabik sebuah keikhlasan yang tak terbalas, karena siksaan terus berlangsung sekian lama. Kesakitan, ketakutan, berkumpul hingga tak terasa borgol itu terlepas dari jari-jarinya. Dan senyap.
Tak lama laki-laki bertubuh kecil masuk dengan peluh diwajahnya sambil menahan emosinya dengan ketat. Saat melewati kursiku ia sempat melemparkan ancaman lewat sorot matanya yang merah. Ia menuju sebuah meja dan menarik lacinya dengan kasar. Tiba-tiba ia telah mengenggam sebuah revolver dan mengisinya dengan tiga buah peluru. Sebentar ia memicing kearah laras pistol itu dan mempermainkan magazinnya. “Bocahe atos tenan” katanya kepada temannya yang sedang sibuk dengan komputer dan hampir tak memperdulikannya. Tapi aku peduli dan sangat peduli dengan apa yang kulihat hingga melahirkan ketakutan seorang bocah. Aku tetap merasa ia akan menyisakan sebuah atau dua peluru untukku, karenanya aku mempertahankan kepalaku kebawah dan ingin rasanya membenamkan seluruh wajah ini kebumi, agar tak terlihat. Namun syukurlah ia tak lagi peduli siapa saja yang ada didekatnya saat ia beranjak keluar.
Ia menenteng senjatanya seperti seorang koboi yang akan menuntut balas kepada perampas ternaknya. Sementara aku berdoa dengan suara yang hanya dapat kudengar sendiri. Semoga temanku tak menemui ajalnya malam ini. Semoga pistol itu macet karena karat. Semoga ia kebal peluru. Semoga ia memiliki dua belas nyawa seperti legenda kucing. Padahal aku yakin semangatnya untuk bertahan hanya tersisa seujung kuku. Lalu siapa yang berani bertaruh.
Beberapa saat mereka menghilang diantara celah itu. Tapi kemudian… “Kutembak kamu !!!” seorang laki-laki dengan marah mengancam. Suara itu terdengar dari ujung lorong, lalu suara temanku meraung-raung diantara bentakan dan cacimaki. Aku menunggu suara letusan itu karena kukira laki-laki itu tak main-main dengan ancamannya. Kakiku telah membeku dibawah bayangan siksaan dan angina yang keluar dari pendingin ruangan tepat diatas kepalaku. Rasanya aku tak lagi sanggup menegakkan punggung diatas kedua kakiku.
Akhirnya teriakan-teriakan itu berhenti tanpa satu letusanpun. Aroma kepedihan berangsur pulih namun tetap mencekam. Kudengar temanku itu menyetujui kesepakatan yang dipaksakan oleh laki-laki yang telah menyiksanya. Aku tak menyalahkannya. Kemudian kulihat ia terkulai diatas kursi panjang didepan ruangan itu seperti sedang memandangi lantai dibawah kakinya yang terluka. Kepalanya tergolek ke depan dengan penutup mata yang masih terikat. Kadang aku berpura-pura tak melihatnya jika ada laki-laki yang memergokiku. Tapi sepertinya mereka sengaja memperlihatkan episode penyiksaan itu kepadaku. Pada saat yang sama seorang laki-laki tinggi tegap mendatangiku dengan mata sedingin salju. Darahku jatuh dan menggumpal dikaki. Aku telah pasrah jika mereka menghendaki aku merasakan pukulan dan siksaan seperti temanku.
Ia adalah pemimpin dalam ruangan ini. Kulihat laki-laki disini sangat mematuhinya. Dia adalah orang yang sama yang menyita dompetku, berbicara dengan seseorang lewat walky talky dan yang mengancam akan menghabisi nyawaku saat bersama beberapa laki-laki lainnya menindih tubuhku diatas kasur kamarku.
“Bagaimana kepalamu ?” katanya tiba-tiba sambil melihat luka disela-sela rambutku.
“Masih berdarah Pak “, kataku waspada. Entah kenapa aku tak percaya dengan laki-laki ini dan semua yang ada disini. Bagaimana bisa seseorang tampak begitu perhatian padahal baru saja aku melihat kekejamannya.
”Oh, enggak begitu parah “, katanya datar. Sialan !!! Bagaimana dia bisa menilai semuanya dengan tenang. Kemudian ia mengeluarkan sejumlah uang dari dompet kulitnya dan memerintah bawahannya membeli cairan pembersih luka, obat luka, dan obat kumur untuk luka didalam rongga mulut. Sebentar aku merasa bersyukur karena kekuatiranku tak menjadi kenyataan. Tapi, ia telah menggunakan uangku sendiri untuk membujukku mengagumi perhatiannya. Tidak !!! Tak semudah itu pikirku. Ini baru permulaan.
“Bantu temanmu membersihkan lukanya !” kata laki-laki tadi kepada Andri setelah obat-obatan itu tiba dalam kantong plastik putih. Temanku dengan suka cita menuruti perintah itu. Hal itu membuatku hampir tersenyum. Pasti tadi ia sangat ketakutan dan perintah tersebut telah membuatnya lega dan mencair seperti es dibawah terik panas. Layaknya seorang perawat ia merawat luka dengan baik dan sekali lagi coba mencuri perhatian mereka yang telah membuatnya hampir terkencing-kencing.
Adzan subuh berkumandang. Dan terdengar berlomba-lomba agar sampai ke langit. Memenuhi setiap inchi ruang dan bergerak bersama udara. Sementara kami masih terbenam diskusi dalam kecemasan yang tak berakhir. Tak ada tongkat untuk berdiri dan tak satupun dinding bagi sandaran. Segalanya rapuh seperti sarang laba-laba yang ditinggal mati pemiliknya. Seperti sehelai benang yang bertahun-tahun terkubur dalam Lumpur laut. Dan hening. Seperti seorang kembara kehilangan tunggangan dan bekal. Berdiri ditengah padang tandus menanti takdir terburuknya sambil menuangkan ingatan manis dalam cawan kenangan.
Kemudian sang pemimpin masuk bersama senyum kecilnya dan memberi perintah kepada yang lain agar kami dibawa turun. Tekanan dalam kata-katanya tak mengandung ancaman tapi kata-kata “dibawa turun” mengesankan sebuah misteri. Sesuatu yang menyebabkan banyak orang menyimpan kekuatiran. Oleh laki-laki yang memukulku didalam mobil kami digiring keluar ruangan menyeberangi koridor. Tapi Opick masih tertunduk lesu dengan mata tertutup dan tangan terikat kebelakang ditengah koridor. Hampir tak sanggup menegakkan tubuh dengan kedua kakinya meliuk-liuk seperti batang padi yang tertiup angin musim panas.
“Ini aku !” kataku setengah berbisik dengan bahasa daerah kami. Aku hanya ingin memberi semangat hidup kepadanya, bahwa kami masih perduli.
“Ngomong apa kamu ?” rupanya si pemimpin mendengarnya dan langsung membentakku.
“Yang lain boleh turun” lanjutnya memberi perintah kepada anak buahnya.
“Kamu tinggal !” ia mengancamku dengan matanya yang sayu. “Jongkok !” bentaknya kemudian sambil meneliti sebuah handphone diatas kursi panjang.
“Ada yang menawarkan Shabu-shabu ke nomor kamu” ia menoleh kepadaku dengan cepat. “Siapa ini ?” lanjutnya tenang. Ia terus menatap mataku dan mencari kejujuran didalamnya. Aku tersentak dengan pertanyaannya itu sambil mengingat-ingat siapa yang telah melakukan itu.
“Saya enggak tahu Pak “ kataku tiba-tiba, sambil menyelidik apakah itu sebuah tuduhan jujur atau jebakan semata.
“Dia enggak tahu apa-apa masalah itu Pak !” dalam keadaan gelap Opick mengisi ruang diam membelaku.
“Diam kamu !” bentak laki-laki tadi, dan sebentar menatapku, lalu menjatuhkan pandangannya kembali ke handphone itu. Namun diam-diam tampaknya kata-kata temanku itu mempengaruhinya. Akhirnya aku diperbolehkan pergi menyusul teman-temanku yang lain dengan kawalan seorang laki-laki meninggalkan Opick yang terasing ditengah koridor.
Sekarang ruangan-ruangan dilantai dasar yang kulewati beberapa jam yang lalu telah senyap. Tak ada satu manusiapun yang terlihat. Hanya aku dan seorang laki-laki yang seperti bangunan tua yang terbengkalai dipinggiran kota. Lampu-lampu tergantung dilangit-langit yang tadinya garang melampiaskan cahayanya, kini mulai redup oleh bias sinar mentari pagi yang belum tampak. Suara-suara derap kaki kami membentur dinding-dinding yang menggigil oleh kelembaban udara.
Setelah melewati dua kelokan yang tak berarti aku sampai dengan cengkeraman tangan pengawalku disebuah ruang penjagaan dengan seorang petugas jaga berseragam. Ketiga temanku masih disitu. Kenanganku melambung ke beberapa tahun yang lalu. Jeruji besi setinggi pintu-pintu sepanjang lebih dari dua meter dan sebuah pintu gerbang jeruji belum berubah sama sekali. Tiga hari yang tak pernah terlupakan. Dari sini aku dapat melihat seluruh kamar-kamar sel yang sepertinya tak berpenghuni dan masih terkunci. Dan kabut yang masih menggantung.
“Buka celana panjang kalian !” kata-kata penjaga itu merusak kenanganku. Tak satupun kami memiliki celana pendek. Hanya celana dalam dan kaos dibadan. Tak ada celana panjang dan baju berlengan panjang. Begitulah aturannya. Karena aku berkaos lengan panjang aku harus memotongnya nanti. Semua celana panjang itu lalu disimpan disebuah lemari kayu besar berpintu lebar disudut ruangan. Kemudian pintu besi jeruji itu dibuka dengan sebuah kunci yang bergerombol dalam kawat yang melingkar. Dan kami melewatinya satu persatu.
Masuk ke dalam ruang tahanan yang berkamar-kamar bagiku seperti sedang menelusuri jejak-jejak terdahulu, napak tilas kenangan. Angin pagi buta menyerang kulitku yang telanjang saat kami melewati beranda dua buah kamar sebelah barat yang memiliki jendela jeruji besi disepanjang bagian depan kamar-kamar tersebut. Dinding bagian depan kamar hanya setinggi dada terbentang dari ujung pertama lalu berhenti pada pintu yang keseluruhannya terbuat dari jeruji besi, sehingga angin dengan bebas masuk. Mataku menangkap dua tiga kepala terangkat melampaui jendela kamar yang lain dalam kantuk. Mahkluk pertama penghuni tahanan yang terbangun. Kemudian kami memasuki kamar yang tak berpenghuni dan terbuka. Sebuah kamar berukuran kurang lebih duabelas meter persegi, terletak paling barat dari deretan kamar-kamar sel yang menghadap ke utara.
Sesampainya didalam kami hanya saling diam. Sepertinya setiap orang terjebak dalam dinding tebal. Semuanya disibukkan oleh rasa dingin yang menyengat dan kekuatiran yang luar biasa. Tak ada alas yang dapat menahan dipan semen yang membeku setinggi kurang dari satu meter. Dipan itu menyatu dengan dinding dibelakang kami melebar hingga hampir memenuhi lantai ruangan. Hanya sedikit lantai yang tersisa selebar pintu jeruji besi yang membuka kedalam. Disudut ruangan terdapat sebuah lubang kecil berbentuk persegi yang seharusnya digunakan untuk buang air kecil jika para tahanan harus terkunci didalam.
Aku segera memeluk lutut dan menenggelamkan wajahku didalamnya sambil berharap semoga aku terbangun dan menjumpai kenyataan yang lain bahwa ini hanyalah mimpi. Tapi semuanya menjadi kering dan sepi. Hawa dingin telah menguasai segala rasa dan membuyarkan harapan. Saat mengangkat wajah yang tampak olehku hanyalah keputusasaan diwajah-wajah yang tersandar di dinding. Tiba-tiba aku merasa malu jika harus tertidur sendiri. Ada satu rahasia kecil dihati yang tak terucap bahwa kami tak boleh membicarakan masalah ini disini. Tak ada yang harus disalahkan. Semuanya harus ditelan diam-diam walau empedu.
Entah berapa lama sudah aku berjuang melawan dingin yang dibawa oleh sunyi dan embun pagi ketika gemerincing suara kunci dan pintu jeruji besi menembus gendang telingaku. “Opick !” Andri berseru dan langsung terbangun dari duduknya. Sosok tubuh kurus itu makin mendekat ke arah kami tertatih-tatih. Ia menahan dadanya dengan tangan kanan dan matanya setengah terpejam menahan sakit. Kelihatannya ia ingin memuntahkan sesuatu namun hampa. Belum lagi sempat menyentuh dipan ia berkata dengan suara yang sepertinya hanya sampai didada. “Terserah kalian mau diapakan aku “ ia meringis menahan tubuhnya. “Aku enggak kuat lagi disiksa “ lanjutnya sambil mengangkat kakinya keatas dipan. Tanpa memperdulikan kata-katanya kami menolongnya mendapat tempat yang baik karena saat ini tak ada yang lebih penting dari keselamatan jiwa. Tak ada satupun yang dapat dijadikan alasan untuk menghancurkan persahabatan. Karena kami telah pernah merasakan kebahagiaan bersama. Bahkan harus menembus hujan melawan dingin, dan menantang gelap hanya karena kerinduan berkumpul bersama menyeberangi takdir. Dan sekarang tibalah masanya bagi kami menahan segala rasa yang selalu dihindari orang-orang.
Dengan sebuah bantal dari tumpukan baju kami membaringkannya kedipan dan mulai melihat luka-lukanya. Aku tak dapat melihat tubuh bagian mana yang masih utuh. Wajahnya lebam, bibirnya pecah-pecah, dan banyak goresan luka dilengannya. Darah telah mongering dalam hidungnya. Sesekali ia menggerakkan tubuhnya namun terhalang oleh napasnya sendiri. Ia terus meracau, mengeluhkan rasa sakit. Kepada kami ia membuka bajunya menunjukkan dada. Hampir seluruh tubuhnya mengalami luka dalam. Warna biru lebam begitu dominan dan beberapa luka luar. Tulang rusuknya cidera karena pukulan dan tendangan. Tapi yang sangat mengejutkan kami, kedua putting susunya hampir terlepas. Sedikit kulit yang tersisa telah menahannya. Dan darah yang masih mengental mengelilingi putting susu itu.
“Ini dijepit dan diputar-putar dengan penjepit kertas “ katanya terbata-bata sambil menunjuk putting susu dengan matanya. Pikiranku kembali kepada seorang laki-laki yang membuka lemari besi dan mengambil sebuah benda kecil saat penyiksaan berlangsung tadi malam. Dan tiba-tiba kebencianku telah merampas segalanya. Tak ada yang tersisa hingga kantukku hilang.
Sebelum langit terang para tahanan lain mulai berdatangan kekamar kami. Aku berharap tak satupun yang mengenalku disini karena bukan itu yang kubutuhkan saat ini. Namun lagi-lagi harapanku kandas sebelum aku sempat menghembuskan napasku. Beberapa yang datang kemudian ternyata orang-orang yang kukenal disebuah masa yang menyakitkan. Tomi yang sempat histeris didekat pintu adalah teman lamaku yang namanya kulihat dipapan putih dinding ruangan unit II itu. Ia pun tak pernah menduga bertemu lagi denganku. Seperti dugaanku, dunia ini benar-benar selebar daun talas. Tapi kebanyakan mereka belum kukenal.
Dari mereka dan yang lainnya bantuan mengalir. Celana pendek, baju kaos, air minum, dan obat luar. Seorang laki-laki berdarah orientalis tampak sibuk dengan empatinya kepada kami. Terutama kepada Opick yang belum dapat bergerak. Lalu kami merawatnya dengan obat-obatan seadanya. Tampaknya ia memilih berbaring walau apapun yang terjadi namun hal itu tak dapat dibiarkan. Ia harus bertahan dengan bantuan obat-obatan dan moril. Kami sangat berterima kasih kepada mereka karena kesetiaan sependeritaan, dan mereka menerimanya dengan bangga. Tapi mereka bertanya terlalu banyak setelah itu tentang perkara yang sedang kami alami, hingga hal-hal yang sangat penting untuk diketahui. Namun kami hanya berbicara sedikit dan mereka memakluminya.
“Jam sepuluh nanti aku di bon lagi “ kata Opick menyesali dirinya. “Ada orang yang ingin mereka tangkap lagi “ lanjutnya sambil menahan sakit saat dadanya dilumuri balsam. Aku hampir tak percaya mendengarnya. Mungkin itu hanya ancaman belaka, pikirku. Tapi jika itu benar-benar terjadi bagaimana ia dapat melewati ini semua. Padahal sekarang untuk bernapas saja ia begitu kesulitan dan hampir menyerah. Lalu aku larut dalam ketakutanku sendiri dan membayangkan hal ini akan membuatku terseret lebih dalam lagi. Aku kuatir dalam ketaksadarannya, dibawah intimidasi ia akan mengeluarkan kata-kata yang dapat membahayakan seseorang, entah siapa. Kemudian para tahanan lain menyingkir dari kamar dan membiarkan kami tenang dan beristirahat. Lalu semua coba rebahkan diri diatas dipan dingin dengan pikirannya masing-masing. Sedang matahari belum nampak.
Aku tak pernah tahu pasti sudah berapa lama tertidur. Tapi rasa-rasanya belum sekejappun. Opick berkali-kali terbangun seperti ingin melepaskan diri dari mimpi buruk itu. Traumanya sampai terbawa dalam tidur. Setiap ia berteriak dalam tidurnya kamipun terbangun, dan segera menenangkannya. Aku sendiri begitu kecewa karena masih berada disini, ditempat orang-orang yang berjalan tidak lagi dengan pikirannya. Hanya kemana angin bertiup. Teman-temanku yang lain tampak sama, menopang sebelah lengan dikening dan menatap langit runtuh.
Lalu aku membayangkan semua kekecewaan orang-orang dekat.
Matahari belum menampakkan kehebatan sinarnya ketika beberapa tahanan mengantar keliling dari kamar ke kamar jatah sarapan pagi. Seorang tahanan mengantarkan beberapa bungkus makanan dan minuman kepada kami. Tapi sebenarnya itu jatah mereka yang direlakan untuk kami. Masing-masing mendapatkan satu bungkus gethuk dan sebungkus air putih. Tapi kami tak lapar. Mungkin untuk saat ini sebatang rokok lebih bisa memuaskan. Sementara tanpa sadar luka dikepalaku yang masih basah telah memberikan coretan-coretan pendek didinding yang kujadikan sandaran.
“Hitung, hitung !” seorang berteriak riuh diluar. Hanya dalam hitungan detik saja para tahanan berkumpul diluar kamar-kamar sel. Tak terkecuali kami. Semuanya berbaris jongkok didepan kamar masing-masing melingkari sebuah musholla tepat ditengah-tengah ruang tahanan. Beberapa petugas berseragam masuk melalui gerbang kecil itu dan berdiri didekatnya sambil mengawasi. Sejenak suasana hening dibawah siraman sinar matahari pagi yang menelusup melalui jeruji besi yang tergantung kokoh diatas kepala kami. Dan semuanya sedang menunggu isyarat perintah.
“Hitung mulai, satu !” seorang tahanan yang paling dekat dengan petugas tadi berseru dan langsung berdiri sebagai tanda ia telah menghitung dirinya sendiri setelah isyarat diterimanya. Kemudian dengan cepat disusul orang disebelahnya mengikuti gerakan orang pertama dan seterusnya, searah jarum jam. Gerakan-gerakan itu menimbulkan kesan seperti gelombang hingga mencapai tahanan terakhir yang berada dekat dengan pintu gerbang. Kemudian seorang petugas melirik kesebuah papan putih besar didalam ruang penjagaan yang berisi nama-nama para tahanan untuk memastikan kesesuaian jumlah.
“Ya, terima kasih “ katanya setelah menyetujui jumlahnya. “Berapa orang tahanan baru ?” lanjutnya ketika tahanan lain bersiap-siap membubarkan diri.
“Lima Pak !” suara didekatnnya menjelaskan. Ia menatap kami sebentar sebelum keluar dengan para penjaga lainnya. Kemudian seorang tahanan memberitahukan kepada kami tentang kewajiban setiap tahanan baru menggunduli kepalanya. Kami mengiyakan. Kemudian ia menjelaskan beberapa hal lain dengan serius. Semua tahanan harus menjaga ketenangan dilingkungannya sekarang ini. Tapi yang paling penting dan dirahasiakan adalah tentang sejumlah uang yang harus kami bayar. Seperti yang diwajibkan kepada tahanan lain ketika menjadi penghuni baru. Seratus lima puluh ribu rupiah pertahanan baru ditambah uang kamar rata-rata dua belas ribu rupiah setiap hari perkamar. Kesemuanya untuk petugas jaga yang terdiri dari tiga kelompok jaga. Biaya pertama untuk keamanan dari siksaan para petugas jaga. Biaya kedua, jika para tahanan tak membayar uang kamar maka seluruh penghuni kamar tersebut akan dikurung sepanjang hari dalam kamarnya, sampai mereka menyanggupinya lagi.
Ketika matahari naik lagi sejengkal aku dan keempat temanku berkumpul dipojok ruangan didepan kamar nomer satu yang dijadikan kamar tamping (Pembantu petugas jaga). Dua orang tahanan lama telah mengapit gagang gunting dijari-jarinya. Dan yang lainnya ikut menyaksikan saat rambut-rambut itu berguguran diatas lantai serambi dengan parit kecil didepannya. Anton perlahan mencukur rambutku setelah seorang tahanan menolak melakukannya. Ia risih dengan luka dikepalaku yang ditumpuki darah yang masih basah dan kering. Dengan izinku beberapa helai rambut disekitar luka tak dipotong sampai mendekati kulit, karena kuatir serpihannya mengotori atau malah tertanam didalamnya.
Setelah selesai kami membersihkan diri dikamar mandi yang terletak disamping kamar sel kami. Aku bersama Feri dan Andri terpaksa membuang jauh-jauh rasa malu saat harus bertelanjang. Tak ada waktu lagi rasanya menunggu-nunggu giliran satu persatu. Semuanya merasa harus memburu waktu demi kessegaran tubuh. Lagipula air penjara dimanapun dipercaya ampuh menyembuhkan cidera karena siksaan. Tapi tak ada sabun dan sikat gigi. Temanku memberikan jalan keluarnya. Ia mengumpulkan busa puntung rokok filter lalu memisahkan kertas yang membungkusnya, setelah diolesi sedikit pasta gigi ia mulai menggosoknya ke permukaan gigi-giginya. Aku menirunya.
Tubuh segar, sedikit menggigil, luka kepala sudah kuobati, namun mata tetap lelah. Rasanya sudah berbulan-bulan tak tidur hingga rasa kantuk benar-benar mengalahkan pikiran-pikiran buruk dan kenangan apapun. Seingatku kali terakhir aku merasakan kerinduan tidur yang begitu mendalam sekira sebelas tahun yang lalu. Saat itu bersama beberapa teman kami berlibur kepuncak Gunung Merbabu. Pada tengah malam saat mendaki diketinggian yang tak kumengerti, dibawah bayang sebuah pohon kurus aku melihat bintang-bintang begitu dekat hingga kurasa dapat menyentuhnya hanya dengan sebuah lompatan kecil. Bulan dua pertiga purnama menggantung jernih diatas kepalaku melecutkan ekor cahayanya didedaunan. Tapi aku lebih mengenang kamar dan merindukan kasurku, lalu mengutuk liburan yang melelahkan itu. Kini dipan semen menggigil tak beralas tak masalah.
Matahari telah meninggi hingga tampak seperti sedang membakar bumi dibawahnya ketika suara panggil mengejutkan kami sekamar. Ternyata ancaman laki-laki semalam tak main-main. Opick segera dipanggil untuk kebutuhan penyidikan mereka. Dengan tubuh yang masih rentan ia memenuhi panggilan itu dan menghilang disebalik pintu gerbang. Aku dan lainnya mengantarnya dengan pandangan mata dan doa apa saja yang dapat dipanjatkan. Aku tak mampu lagi membayangkan apa-apa. Tidur yang tak berapa lama belum mampu menyembuhkan kelelahan raga apalagi pikiran. Tapi matapun tak dapat lagi terpejam. Kini kami terdiam dalam ruangan sempit ini dan selalu menunggu berita yang tak dapat diterka.
Adzan berkumandang memenuhi udara panas setelah matahari sedikit tergelincir. Mengharu biru dijiwa namun tak mampu menenangkannya. Kulitku serasa kering dan menyempit merasakan tusukan hawa panas yang terpantul dari semen lantai yang tertumbuk sinar matahari. Beberapa suap nasi bungkus sebagai jatah makan siang dibagikan beberapa menit lalu tak terasa diperut. Aku melihat dua wanita tengah baya dengan rambut panjang diikat ekor kuda dan dalam pakaian sahaja bermotif bunga mengantarnya melalui jeruji besi pintu gerbang. Dua orang tahanan yang ditugaskan menerimanya dari dalam, kemudian membagikannya ketiap kamar. Tapi nasi bungkus itu benar-benar tak layak. Hanya sepertiga dari kebutuhan sesungguhnya. Tak lebih dari sekepal nasi yang disiram kuah sayur dan sepotong tempe rebus. Semuanya dibungkus daun pisang dan kertas koran diatasnya.
Sepanjang siang yang terang benderang dengan membawa angin musim kemarau didalamnya kami hanya menunggu diam-diam. Tak ada yang berani mengatakan sepatah katapun bahkan tentang apa yang kami alami semalam. Anginpun seolah enggan menyapu wajah kering kami. Yang ada dalam hatiku dan teman yang lain hanya satu, apakah Opick akan kembali ? Ataukah hanya kabarnya saja yang sampai ketelinga. Tak ada yang dapat menerka pasti hingga anginpun pergi bersama jatuhnya matahari yang menggarisi setengah langit.
Bunyi gemerincing kunci pada pintu gerbang membelalakkan mata lelah kami. Saat itu sore semakin jelas dengan warna keemasannya diudara kosong. Sesosok tubuh yang sedari tadi kami tunggu dengan do’a-do’a muncul bersama kepedihan yang ditelannya hidup-hidup. Untuk sementara kami cukup bersyukur melihatnya kembali utuh dan tak sabar mendengar suka dukanya selama pergi.
Belum lagi ia mengambil napas seorang teman menyela kerusuhan hatinya dengan pertanyaan itu. Dan kami mulai mendengarnya terkesima. Katanya, ia dibawa pergi dengan mobil bersama beberapa reserse yang telah berjanji semalam. Tangannya diborgol dan mata tertutup saat perjalanan dimulai. Opick tak pernah tahu kemana ia dibawa. Seseorang yang dikenalnya akan dijebak dengan menggunakan handphonenya yang saat itu berada dalam penguasaan para reserse itu. Suatu tempat telah ditentukan dan mereka menuju kesana. Setibanya ditempat yang telah dijanjikan mereka menunggu kecewa, karena orang yang hendak ditangkap tak termakan umpan. Akhirnya mereka kembali dengan lesu. Selama diperjalanan dalam pandangan gelap laki-laki yang menguasainya terus mengintimidasi dengan kekerasan. Kekurangan makanan ditubuhnya, jam istirahat yang tidak menentu, dan keruntuhan mental, membuat raganya tercabik-cabik tiap detik pukulan. Keringat dingin telah menenggelamkannya terlalu dalam hingga memuntahkan seluruh isi perutnya.
“Tolong buka mata saya Pak !” ia mengemis pada siapa saja laki-laki yang menahannya di mobil itu. Melihatnya, mereka ketakutan akan terjadi hal-hal yang tak diinginkan dengan melepas tutup matanya. Setelah itu barulah kondisinya dirasa baik.
Disuatu tempat yang lain mereka berhenti. Disebuah warung angkringan ditepi jalan yang ramai laki-laki itu menurunkannya disitu dan dibiarkan berdiri ditonton oleh banyak orang yang lalu lalang. Opick dipaksa melalap beberapa buah pisang rebus beserta kulitnya. Dan harus tak bersisa. Dan ia lagi-lagi memang tak punya pilihan. Mungkin baginya lebih mudah melakukan itu daripada harus menampung pukulan-pukulan dan tendangan atau siksaan fisik lainnya, jika menolak. Namun itupun tak cukup bagi mereka. Setelah merokok mereka berlomba-lomba mematikan bara apinya ditubuh Opick. Dan ia menahannya dengan sisa ketabahan.
Sebenarnya usaha para reserse polisi menangkap Opick sangat melelahkan. Beberapa bulan mereka mencoba mendekatinya dengan menyamar sebagai “pasien”nya. Beberapa kali mereka harus mengeluarkan uang membeli shabu-shabu dan extasy. Pada hari yang nahas itu ia dijebak melalui istrinya dilain tempat tinggal. Disitulah akhirnya ia tertangkap dan dipukul habis-habisan seperti binatang yang tak layak hidup. Didepan orang-orang yang mengaku beradab. Kemudian ia digiring ke kostnya sendiri. Dari pengakuannya kepada kami, saat menggeledah, seorang laki-laki itu telah menodai kamarnya dengan dua butir extasy. Padahal seingatnya ia tak pernah sama sekali menyimpan barang-barang itu. Untuk menguatkan tuduhan mereka meminta ketua RT setempat sebagai saksi apa yang mereka temukan. Dan ia hanya sendiri dikamar itu tanpa pembela.
Kemudian matahari larut dikaki langit tertelan garis bumi. Dan gelap menghapus terang diseluruh cakrawala. Seperti kebisuan anak manusia yang membakar bukti sejarah. Tanpa terasa pula waktu terus bergulir sedikit demi sedikit hingga malam benar-benar berkuasa atas semesta, lalu membenamkan kelelahan dan ketakutan seharian dalam tidur lelap. Dan semua mimpi adalah hasrat kebebasan.
Minggu, 5 Maret 2006
Saat aku merapatkan mataku pada dinding-dinding bisu dihadapanku dan tubuh-tubuh yang lunglai tergeletak disampingku barulah kusadari kenyataan yang sesungguhnya hari ini. Tak ada mimpi yang bisa kuharapkan dapat merubah kenyataan pahit ini. Tak ada pula do’a-do’a yang dapat menciptakan mukjizat besar bagiku. Sekarang segalanya semakin jelas dan membisikkan kepadaku bahwa lorong gelap dengan hanya setitik cahaya yang hanya mampu menerangi telapak tangan harus kuhadapi sebagai takdir dan tak dapat kuhindari.
Namun ketakutan dan rasa kecewa tak dapat hilang hanya dengan tidur semalaman. Bahkan takkan segera luntur dengan kebijaksanaan seorang Brahmana. Yang ada sekarang adalah pagi yang terentang di cakrawala dunia, beserta cahaya mentari dan udara dingin didalamnya. Kemudian aku menggeliat menabrak ruang kosong dan bangkit menghina kelemahanku. Melihat beberapa orang tersenyum diseberang jeruji kamarku menghormati pagi. Lalu kehidupan mulai bercerita ditelingaku “aku adalah segala-galanya yang dipertaruhkan manusia”. Dan akupun tersenyum bersama mereka.
Pagi ini aku dan teman-teman telah dapat menikmati sekepal gethuk yang bahkan tak dapat mengimbangi makanan sejenis itu di pasar tradisional. Tapi rasa lapar telah membangkitkan semangat yang tak dapat lagi dibayangkan sebelumnya. Dan melupakan rasa terbaik. Kemudian beberapa teguk air putih dalam bungkus plastik kecil dapat memuaskan dahaga dan melonggarkan paru-paru.
Tak lama berselang, saat mentari menarik dirinya lebih tinggi, empat orang laki-laki melewati pintu gerbang lesu. Penghuni baru. Salah seorang diantaranya kukenal, Udek. Seorang laki-laki yang tak dapat dikatakan muda, bertubuh tinggi dan memiliki suara berat. Dari berita yang kudapat baru saja ia keluar dari penjara LP Wirogunan. Mereka ditempatkan dikamar 8 yang paling dekat dengan pintu gerbang yang sebelumnya kosong. Kami mendekati mereka dan mulai bersalaman hangat. Sebagai orang-orang yang bernasib sial. Kemudian laki-laki yang suka bercerita itu mulai bercerita.
Ia bersama seorang teman yang sekarang sedang menindih dinding kamar ini pergi dengan sepeda motor karena sebuah alamat yang harus didatangi. Disebuah daerah pada arah yang telah ditunjuk mereka berhenti dan mulai mencari sesuatu. Sebuah bungkusan yang digambarkan jelas pada sms dalam handphonenya. Setelah mengambil barang tersebut mereka beranjak dari tempat tersebut. Diatas kendaraan barulah mereka sadar tak ada barang apapun dalam bungkusan tersebut. Namun beberapa sepeda motor yang mengikuti mereka sedari tadi langsung mengunci jalan.
Mereka sadar dengan jebakan ini. Dan orang-orang yang sedang menghadang jalanan adalah orang-orang yang paling berhak melakukan penangkapan walau tanpa surat perintah apapun. Penggeledahan dimulai dan hasil nihil. Tapi mereka tetap ditangkap beserta apapun yang mereka bawa termasuk handphone, walaupun mereka bersikukuh. Tak lama sebuah pesan lain masuk kedalam handphone tersebut. Sebuah transaksi yang dialamatkan. Dibawah ancaman mereka tak dapat menolak mengambilnya. Hasilnya shabu seberat 0,5 gram. Dengan barang bukti itu mereka digiring ke tempat tinggalnya yang jauh. Dua orang temannya yang sedang menunggu dikamar dijadikan tersangka pula walaupun tak memiliki barang bukti. Sesampai dikantor polisi salah seorang dari mereka negative urine saat pemeriksaan namun tak juga dilepaskan karena dihubungkan dengan transaksi tersebut. Sebagai pihak yang ikut serta memesan barang larangan. Michael, salah seorang tersangka menuduh penangkapan terhadapnya adalah dendam lama kepala unit II yang selalu gagal menghukumnya walau sudah beberapa kali tertangkap. Dan kali ini iapun berharap demikian.
Sudah dua hari ini aku tak berminat mendatangi kamar-kamar lainnya. Salah satu alasan menghindari pertanyaan tahanan lain sekitar perkara kami. Disini semua orang berselera kepada masalah orang lain. Sebagai hiburan atau sekedar berbagi pengalaman. Tapi tak semua tahanan dapat dipercaya. Bahkan kami menduga reserse polisi menanamkan orang-orangnya disini. Laki-laki yang mendekati kami dan paling banyak bertanya menjadi orang yang paling dicurigai. Anton beberapa kali memperingatkan kami.
Saat Mas Gundul datang dan hanya menemui kami dijendela ia tak banyak bicara. Ia hanya menyesalkan penyiksaan yang kami terima terutama Opick. Lalu ia menghibur dengan memperlihatkan punggungnya yang kecoklatan panjang. Ini karena disiram air panas katanya mengenang kekejaman laki-laki yang memeriksa kejahatan sosialnya. Bercak-bercak putih itu hampir memenuhi punggungnya. Bukan hanya itu, seluruh tubuhnya menjadi pelampiasan kemarahan laki-laki yang tugasnya melindungi dan melayani masyarakat. Hingga mereka puas. Dan kami semakin takut.
Tapi hari ini Minggu. Tak ada pemeriksaan. Jadi sebenarnya tak ada yang perlu dikuatirkan. Tapi itupun tak sepenuhnya benar. Ada saja cerita atau bayangan buruk yang tiba-tiba memenuhi kepala, melahirkan ancaman. Sementara matahari kian meninggi kemudian jatuh perlahan menyiksa bumi kerontang. Ruang penjagaan tampak lengang dan kering seperti hutan jati dimusim kemarau. Sesekali mereka ada terlihat disela-sela jeruji mengawasi kami. Tapi kemudian melepaskan ikat pinggang dan beberapa kancing teratas seragamnya melawan udara panas dan berbaring dikursi-kursi panjang seperti gelandangan di taman kota.
Siang ini juga kami dipindahkan ke kamar nomer delapan, disatukan dengan keempat tahanan yang baru tertangkap itu. Karena sebelumnya telah lama ditinggal kosong, terpaksa kami membersihkan kamar tersebut dari debu dan barang-barang yang tak berguna disini. Namun setelah selesai kami dikurung saja dalam kamar tak seperti yang lainnya hingga sore hari. Alasannya karena belum membayar sejumlah uang untuk sewa kamar agar tak dikunci. Tepatnya membeli sedikit kebebasan. Selama terkurung kami melewatkan waktu itu dengan berbincang satu sama lain dan mempererat hubungan dengan keempat tahanan itu. Dari situ terungkap pula bahwa keberhasilan para reserse unit II yang dengan mudah menangkap mereka karena Udek yang selama ini sering bertransaksi dengan Opick tak mengetahui bahwa rekannya itu telah tertangkap. Saat ia memesan beberapa butir ecstasy lewat handphone itulah perangkap ditebarkan dan menjeratnya. Dan mereka berdua tak dapat menyalahkan siapa-siapa kecuali kesialannya semata.
Edo yang ditangkap bersamaan dengan Udek tampak lebih banyak berdiam diri didinding. Ia berdarah orientalis. Karena kentalnya tak ada yang percaya jika ia mengaku dari ras yang berbeda. Sedari tadi sebelah tangannya tak beranjak dari kepalanya yang banyak berjejak luka lama. Sesekali bicara dengan suara yang hampir tak sampai kepada maksud, tersenyum aneh, lalu kembali murung bersama bola matanya yang tenggelam oleh kelopaknya. Seorang yang lain, Amik, bertubuh gempal, berjerawat, dan mempunyai mata yang seolah sedang terkejut. Aku selalu berpikir kapan ia akan lelah dengan matanya itu. Michael atau Mike, berbadan lebih gemuk lagi. Setelah dipotong tadi, rambutnya seperti duri kaktus. Tapi ia memiliki ketenangan seorang pemikir abadi hingga kukira ia selalu mengganggap segalanya akan baik-baik saja. Uniknya ia terlihat sering menyapu wajahnya dengan telapak tangan. Sepertinya ada sesuatu yang menempel didepan hidungnya yang kecil dan merusak pandangannya…………………… CERITA INI TELAH BERAKHIR………..